Janus [17] Jas Hujan

1.9K 93 6
                                    

Sebelumnya mau ngucapin makasih banyak buat yang udah support dan setia membaca cerita ini maupun ceritaku yang lain. Tiap kali lihat komentar di setiap cerita yang aku buat, rasanya kayak healing buat diri sendiri.

Jadi, di sini aku benar-benar merasa jika kembali melanjutkan hobiku menulis setelah bertahun-tahun membatasi diri adalah pilihan yang tepat.

Dan semoga karya-karyaku yang masih amatir ini juga bisa memberikan efek positif walaupun tak seberapa pada kita semua.
Lav Yu All ...

Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca pesan tidak jelas namun tulus dari hatiku ini sampai akhir.

Selamat membaca♡

______Janus______

"Bumi!"

"Papa?"

Oh ... rupanya Bumi juga dapat berekspresi seperti ini?

Matanya membulat lucu disusul dengan mulutnya yang menganga. Ia terkejut. Kehadiran sosok pria paruh baya yang berjalan dengan penuh kewibawaan mampu mendistraksi aura gelap milik pemuda bar-bar tersebut.

"Ngomong apa kamu tadi?"

" ... "

Pemuda itu diam. Tak menyahut pertanyaan dari sang Rama. Seperti anak kecil yang tertangkap basah selepas mencuri gula-gula, Bumi hanya menatap cemas ke arah ayahnya tanpa berkilah apapun.

Diamnya Bumi memunculkan berbagai macam tanya dalam benak ini. Apakah ia ketakutan? Atau ini adalah bentuk rasa hormatnya pada yang lebih tua?

Aku tak mampu memilah ekspresi macam apa yang sebenarnya tengah Bumi tampilkan kini. Sebab mata pemuda itu jelas memancarkan rasa kagum pasa sang ayah, namun gestur tubuhnya menunjukkan keinginan untuk pergi menjauh.

"Saya mohon maaf atas perkataan kasar anak saya ya."

"E-eh tid-" kosa kata yang hendak keluar dari bibirku terhenti di saat kurasakan tangan Kak Januar menahan lenganku. Isyarat agar aku diam dan membiarkan dia yang mengambil alih pembicaraan.

"Terima kasih sudah mewakilkan putra Bapak dalam memohon maaf. Tapi saya rasa, di usianya yang sudah dewasa ini, bukankah akan lebih baik jika ia mengatakannya sendiri?"

Aku tidak berpikir bahwa Bumi harus memohon maaf kepada kami. Jujur saja, aku justru ingin mengucapkan rasa terima kasihku kepada dia.

Bumi telah menyelamatkanku dari nafsu sesaat yang pasti akan kusesali di kemudian hari. Aku berpikir akan mengiyakan permintaan Kak Januar tadi jika saja Bumi tidak menginterupsi adegan yang masih membuatku merinding barusan.

Kak Januar ... ingin menciumku. Aku benar, kan?

"Kamu benar. Putra saya harus meminta maaf melalui mulutnya sendiri." ayah dari Bumi konstan sekali dalam menjaga kestabilan nada bicaranya. Ia tak terdengar marah sedikit pun. Meskipun sorot matanya begitu tajam menusuk.

"Bumi." kali ini beliau menatap intens netra putranya. Bermaksud menegaskan bahwa Bumi harus segera meminta maaf kepada kami.

"Nggak!" namun Bumi menolak. Ia beriak tegas. Menyuarakan bahwa dirinya tak memiliki kewajiban memohon maaf.

"Aku mengucapkan segalanya secara sadar. Dan aku tidak berpikir bahwa itu adalah hal yang salah, Pa."

Matanya berkilat penuh amarah ketika menatapku. Membuat jantung ini berdegup begitu cepat karena kurasakan murka itu tak main-main.

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang