Janus [27] Gift

1.5K 102 9
                                    

______Janus______

"Yang ini?"

"Jelek."

"Kalau ini?"

"Burik."

"Yang ini bagaimana, Bumi? Aku pikir-"

"Norak!"

Baiklah. Ini sudah tak terhitung lagi berapa toko yang sudah kami singgahi. Mulai dari toko di ujung sana hingga ujung sini, semuanya tak masuk dalam kriteria 'bagus' untuk Bumi.

"Ini sudah toko terakhir, Bumi. Mau mencari sepatu di mana lagi?"

Aku benar-benar kehabisan ide. Kupikir mengajak Bumi untuk memilih hadiah ulang tahun bagi ayah adalah keputusan yang tepat. Tapi rupanya, dia justru menambah pening di kepala saja.

"Udah gue bilang, kan? Sepatu tadi udah paling bagus buat hadiah ultah."

Sejujurnya aku ingin bertanya perihal selera Bumi yang agak norak. Bagaimana tidak norak jika dia memilihkan sepatu warna kuning cerah dengan garis-garis orange.

Baiklah, untuk anak muda seperti kami, memakai sepatu model itu memang lucu.
Tapi jika digunakan ayah untuk bekerja, apakah beliau tidak akan ditertawakan oleh seluruh kantor?

Apalagi warna favorit ayah itu abu-abu gelap atau hitam. Jadi aku tahu jika kuning bukanlah seleranya. Lagipula aku sedikit heran, bagaimana bisa ada pantofel berwarna seperti itu. Apakah trend di masyarakat sudah berubah?

"Gimana? Kita balik ke toko tadi lagi aja. Sepatunya keren banget, loh."

Benarkah itu? Tapi kenapa wajah Bumi terlihat tengil sekali? Dia ingin mengerjaiku atau apa?

"Hahhh ... Tapi ayah tidak suka warna cerah."

"Hah? Apa? Lo bilang apa barusan?"

"A-apa?" aku gugup sekali. Mengapa Bumi tiba-tiba berubah agresif? Dia mendekat ke arahku dengan gerakan sangat cepat.

"Jawab gue. Barusan lo bilang ayah lo kenapa? Om Sony nggak suka apaan?"

"O-oh. Ayah? Ayahku tidak suka warna kuning. Ayah-"

Tangan Bumi terangkat ke depan wajahku. Dia memberikan isyarat agar aku diam. Lantas dengan memijat pangkal hidungnya Bumi berucap, "oke stop dulu. Suara cempreng elu bikin gue pusing."

Heh! Enak saja! Sembarangan!

Aku sadar betul jikalau tone suaraku memang tak semerdu Teresa. Namun bisa kupastikan dengan penuh kepercayaan diri jika suaraku itu cukup lembut untuk didengar.

"Jadi maksud lo, kita muter-muter daritadi itu buat nyariin sepatunya Om Sony?"

Aku mengangguk pelan. Agak ragu juga untuk merespon, sebab wajah Bumi terlihat begitu kusut. Matanya memicing ke arah lain. Dia benar-benar seperti cucian yang belum disetrika.

"Sial!" Bumi mengumpat lirih. Tapi cukup untuk bisa kudengar. Hingga tanpa sadar aku bergerak mundur menjauhinya. Takut dia tiba-tiba mengamuk. Entah mengapa dia berubah menjadi badmood seperti ini.

"Ikut gue!" titahnya tegas tak ingin dibantah. Kulihat tangan Bumi terulur hendak meraih tanganku, namun diurungkan. Dia dengan wajah kusutnya menatapku dalam. Beberapa saat kemudian mulutnya terbuka untuk bicara.

"Kita balik ke toko sebelum ini, ayo." begitulah ucapnya.

Aku berjalan di samping Bumi. Mengikuti langkah kakinya hingga membawa kami ke toko yang pertama.

Begitu tiba, Bumi langsung berjalan menuju rak sepatu pantofel untuk pria. Dengan cekatan, pemuda ini menerangkan begitu banyak hal mengenai sepatu yang dipegangnya.

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang