Janus [56] Tentang kamu ...

3.9K 68 10
                                    

______Janus______

Aku seringkali bertanya,

Tentang alasan mengapa manusia diciptakan dengan garis takdir yang berbeda.

Namun ...

Tidak peduli sesering apapun aku memikirkan itu, jawabannya tak akan pernah datang dengan jelas.

Beberapa anak dilahirkan untuk dicintai.
Beberapa lainnya terlahir untuk ditinggalkan.
Dan terkadang, ada pula anak yang dilahirkan tidak untuk menjadi siapa-siapa selain pelampiasan kekalahan orang tua.

Dalam kasusmu ...
Aku rasa kamu dilahirkan bukan untuk ketiganya.

Kak ... Berdosakah aku, jika kunilai kelahiranmu sebagai bentuk keserakahan dari orang tuamu?

"INI SEMUA SALAHMU! KAU TIDAK BECUS MENDIDIK JANUAR! DASAR MENANTU TIDAK BERGUNA! KAU DAN ANAKMU BENAR-BENAR TELAH MENCORENG NAMA KELUARGA!"

"Tenang, Ma. Tenang ... Ini Rumah sakit."

"INI JUGA SALAHMU, BONDAN! DASAR ANAK BODOH! JIKA SAJA KAMU MENCERAIKAN JUWITA SAAT MAMA MEMINTA, INI PASTI TIDAK AKAN TERJADI!"

Kak ...
Bahkan setelah kamu menjadi seperti ini ...
Aku tidak melihat barang sedikit pun penyesalan di mata orang itu.

Dia terus saja menyalahkan kamu dan ibumu atas dosa yang tak pernah kalian lakukan.

Memang apa salahnya jika seorang anak ingin dicintai apa adanya?

Apakah itu menjadi kejahatan hanya karena kamu ingin diterima sebagai keluarga oleh mereka?

Sebenarnya apa?

Apa alasan Tuhan memberikan keluarga itu sebagai bagian dari dirimu?

"Selen ..."

Kamu tahu, Kak? Di saat kamu memutuskan untuk berpaling dariku tanpa kejelasan apapun ...

Di kala kamu meyakini untuk pergi dengan cara yang  menyakitkan,

Di sini ... Di sisiku ... Bumi selalu ada untuk menemani jiwaku yang terlalu lelah untuk menjerit.

"Minum dulu. Kebanyakan nangis bisa buat dehidrasi."

Di hadapanku, kini Bumi tengah berlutut seraya memberikan sebotol air pada tanganku.

Bukankah wajar jika aku merasakan debaran atas perhatiannya ini?

Tapi Kak ...
Anehnya, aku justru tidak merasakan apapun.

Hatiku terlalu terpaku pada dirimu yang sedang terbaring di dalam sana. Dengan sekian banyaknya alat menancap pada tubuhmu ... Kamu ... Tetap tidak bergerak.

"Bumi ..."

"Hmm?"

"Aku ingin pulang."

"Oke, kita pulang. Gue anter-"

"Aku ingin bertemu Ayah."

Bumi menggenggam tangaku, Kak. Tapi anehnya ... Aku masih merasa sendirian.

Dunia boleh menyebutku sebagai orang tak tahu malu. Tak memiliki rasa syukur, maupun terima kasih atas keberadaan Bumi.

Namun ... Aku hanya ... Ingin jujur terhadap perasaanku.

Aku membutuhkan Ayah. Aku ingin Ayah ada di sini.

Sebab bukan aku apalagi orang tuamu yang bisa memahami perasaanmu.

Itu adalah ayahku.

Dia yang telah berpulang dan tak ada di sini, justru memiliki hati paling luas untuk dapat merangkul jiwa yang lelah sepertimu.

_ _ _ _ _

Dua hari telah berlalu semenjak Kak Januar ditemukan dalam kondisi kritis pasca menenggak obat tidur dalam dosis tinggi.

Selama itu pula ... Aku tak pernah berhenti membaca berulang kisah yang kau torehkan dalam sajak ini.

Perasaanmu yang tergambar jelas dalam rangkaian kata penuh luka, itu menyayat hatiku hingga darah tak akan lagi sanggup menetes darinya.

"Makan, ini masakan papa gue, jadi wajib kudu lo habisin."

"Terima kasih, Bumi."

"Baru juga ba'da isya, tapi lingkungan rumah lo udah sepi gini."

"Besok kan libur panjang, jadi orang-orang kebanyakan pergi ke kampung halaman atau ke tempat wisata yang jauh."

"Oh ..."

Bumi tidak pernah absen mendatangi rumahku. Di setiap waktu yang akan terasa menyedihkan karena Ayah tak lagi ada di sini, Bumi akan mengisinya dengan semua celoteh penuh warna.

Teresa juga akan ikut datang, namun kali ini dia tak dapat bergabung sebab salah satu kerabatnya telah berpulang pada Yang Maha Kuasa.

"Birama bilang, dia mau kasih tahu sesuatu ke lo. Tapi dia belum bisa dateng ke sini. Jadi ... Besok mau ikut gue ke rumahnya?"

Mendengar nada bicaranya yang penuh kehati-hatian dalam meminta jawabanku, itu akan terasa menjatuhkan jika sampai aku menolaknya.

Terutama ... Jika penolakan itu datang sebab aku ingin menemui Kak Januar.

"Hmm. Aku mau."

"Oke. Gue jemput besok pagi jam delapan-"

"MALINGGG!!"

Mendengar teriakan yang berasal tak jauh dari rumahku, kompak saja aku dan Bumi langsung berdiri untuk mencari asal suara tersebut.

Bumi segera mengambil sikap dengan berdiri tepat di hadapanku saat mendapati seorang pria bertubuh kurus tengah berlari cepat melewati area depan rumahku.

Disusul oleh kerumunan orang yang mengejar pencuri tersebut, situasi pun menjadi sedikit ramai dari sebelumnya.

"Kamu tidak ikut kejar?"

"Terus ninggalin lo sendirian di sini? Gila apa?"

"Padahal ini bukan musim lebaran, seharusnya belum waktunya ada pencuri."

"Libur panjang, Len."

"Oh iya ..."

"Nggak bisa."

"Apa yang tidak bisa?"

"Lo, ikut gue sampai keluarga Teresa balik."

______Janus______

.

.

.

.

.

Alhamdulillah bisa menepati janji untuk mulai update di bulan Februari ini.

Cerita lain menyusul ya :)




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang