Janus [31] Bumi

2.1K 110 1
                                    

______Janus______

Aku gagal lagi. Setelah mendengar jawaban paling menyakitkan dari Kak Januar di rumah sakit dua hari yang lalu, aku pergi begitu saja tanpa berpamitan.

Kubiarkan mereka menghinaku tak sopan di belakang. Biarlah. Toh, aku juga tak berencana memperpanjang alur cerita bersama mereka.

"Udah selesai belum?"

"Eh ... Iya. Sudah kok, Bum."

Berhenti Selenica. Kamu tidak boleh kehilangan fokus. Belajar adalah yang paling utama.

Setelah kubuang mimpi menjadi dokter, aku masih melanjutkan acara belajar bersama dengan Bumi. Dia mengajarkanku soal-soal matematika yang mungkin akan keluar pada seleksi perguruan tinggi.

"Punya otak tidak? Soal mudah seperti ini saja tidak bisa."

"..."

"Becanda. Jawaban lo bener semua, kok."

"Bumi!"

"Makanya. Muka dikondisikan. Tegang banget kayak kabel listrik korslet."

"Capek, Bum."

"Capek belajar?"

"Iya."

"Ya udah. Ayo healing. Cari cemilan."

Mataku langsung berbinar. Sudah jam delapan malam. Gelap pun telah menyelimuti tanah ini seluruhnya. Tidak akan ada merdunya jangkrik, sebab daerah perkotaan telah menjadi musuh bagi kehidupannya.

"Aku izin Ayah dulu, ya. Barangkali ayah mau titip sesuatu juga."

"Oke."

Lima menit kemudian aku kembali sambil membawa selembar uang. Ayah memberikannya untukku dan Bumi. Ayah bilang aku harus makan yang banyak karena mulai terlihat kurus.

Andai ayah tahu berat badanku naik dua kilogram.

"Om Sony nitip sesuatu?"

"Martabak katanya."

"Martabak manis apa martabak telor?"

"Martabak manis namanya terang bulan, Bumi. Bukan martabak."

"Hahahaha. Mau ribut lagi, nih?"

Kurasa ia sengaja mengeluarkan humor garingnya untuk menghiburku. Bumi itu sudah seperti Teresa. Mereka sangat peka ketika orang lain nampak butuh dihibur.

_ _ _

Sambil menunggu Mie Judes kami selesai dibuat, aku dan Bumi memutuskan untuk bermain teka teki silang menggunakan ponsel miliknya.

Rupanya Bumi hobi bermain games ini. Ada beberapa aplikasi teka teki silang yang berbeda di dalam ponselnya.

Kami memilih aplikasi berwarna merah. Dan levelnya sudah sampai 210. Sekarang sudah mencapai level 220, karena kami memainkannya cukup lama. Tingkat kesulitan pun semakin naik.

"Ibukota Uganda, Bumi. Kamu brows-."

"Kampala."

"Kamu tahu?" aku heran.

"Emangnya lo nggak tau?" Bumi lebih heran lagi.

"Aku coba, deh." ujarku sambil menuliskan jawaban. Dan rupanya benar, "kok bisa tahu, Bumi?"

"Kok bisa lo nggak tau?"

Dia sengaja mengejek. Nada bicaranya menegaskan seolah aku adalah orang aneh karena tidak tahu jawabannya. Belum lagi senyum miringnya itu.

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang