Angkasa bingung ketika ada satu wanita tak dikenalnya meminta dirinya untuk menjadi pacarnya. Di tengah kebingungannya ia memutuskan untuk menerima wanita tersebut, ingin melihat seberapa jauh wanita itu bisa menghadapi sifatnya yang kata kebanyakan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAHATMA, kesal bukan main.
Ini adalah kali kedua dalam kurun waktu satu tahun. Kali keduanya merasakan kecewa karena hubungannya yang hancur di mana dua-duanya disebabkan oleh sebuah nama yang sama.
ANGKASA.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Angkasa Alvian.
Satu nama yang membuatnya menyimpan amarah sejak kehancuran hubungan sebelumnya.
Di mana amarah tersebut kembali bertambah ketika lagi-lagi namanya menjadi penyebab kehancuran hubungan romansa yang bahkan belum sempat terjalin secara nyata.
Mahatma sempat bertanya-tanya.
Apa salahnya pada laki-laki bernama Angkasa yang tidak ia kenal dekat tersebut? Apa dosanyapadamahasiswafakultasTeknikangkatan 52 itu?
Ia bahkan hanya sekedar mengenal nama. Melihat wajahnya beberapa kali. Itu saja. Tak lebih.
Tapi mengapa hubungannya selalu hancur karena seorang Angkasa?
Sempat diputuskan Bina dengan alasan tak bisa melupakan Angkasa yang ternyata lebih Bina cinta. Sekarang Mahatma harus menghadapi kenyataan untuk menerima keputusan sepihak Shania yang memilih untuk tidak lagi melanjutkan proses pendekatan mereka karena memiliki perasaan pada Angkasa.
Entah Mahatma harus bersyukur karena Shania memberitahunya sekarang sebelum mereka masuk ke jenjang yang lebih serius. Atau justru harus merasa hancur karena kejujuran yang membuat hatinya benar-benar terluka itu.
Di hari... di hari di mana ia seharusnya memasang senyum kepada setiap orang yang datang sekarang, Mahatma malah terus memasang wajah pilu. Ia bukan seseorang yang ahli menyembunyikan luka dan amarah. Apapun yang ia rasakan, tergambar jelas di wajahnya.
Seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lavanya kapan saja, emosi Mahatma menumpuk. Giginya bergemelutuk. Rahangnya mengeras. Tangannya terus mengepal ketika dari jauh ia melihat sosok yang sangat dibencinya saat ini.
