GS 2

106 6 0
                                    

Happy Reading

***

Suasana hatiku belum stabil semenjak perkataan menusuk yang Sarkara lontarkan tadi. Bahkan setelah sekian lama menjalin hubungan, kerap kali aku harus menyetok ekstra sabar menghadapi perubahan sikap Sarkara.

Lima menit lagi bel pulang sekolah berbunyi. Guru masih sibuk menerangkan materi yang bahkan tidak mengalihkan fokusku dari Sarkara. Laki-laki itu selalu berhasil mengambil alih kinerja otakku untuk terus mengingatnya. Pandanganku terpaku ke arah pintu. Aku bisa melihat siluet seseorang yang sangat aku kenali sedang menatap ke arahku dengan pandangan tidak terbaca.

"Tugas rumah di halaman terakhir. Minggu depan Ma'am periksa," Samar-samar aku mendengar perkaan guru barusan.

Aku melirik ke samping. Terlihat Elia tengah sibuk membereskan bukunya yang sudah berhamburan di atas meja. Pasti sahabatku itu ingin latihan menari lagi.

"Lama banget," keluh Sarkara mengambil alih buku dari tanganku.

"Kenapa sih, Sarka marah-marah terus," gerutuku merampas buku dari genggaman Sarkara.

"Gue duluan ya," pamit Elia berlari meninggalkan kelas.

"Dasar ganjen," cibirnya kembali mengungkit masalah tadi siang.

Aku hanya diam tidak menimpali cibiran Sarkara. Rasanya lelah juga jika harus berdebat untuk sesuatu yang tidak penting. Perasaan cemburu tidak mendasar laki-laki itu selalu membuat hubungan kami dibumbui dengan perdebatan.

"Woi tungguin gue," teriaknya karena aku sudah berlalu pergi. "Bandel banget." Sarkara menggapaiku untuk mengikuti langkahnya.

"Pelan-pelan Sarka. Genna capek," ujarku membuat langkahnya terhenti.

"Maaf," ucapnya. Sedetik kemudian Sarkara mencibir dan mendorongku untuk ke parkiran "Lemah banget jadi cewek."

Helaan napas pasrah terdengar dari bibirku. Lelah menghadapi sikap Sarkara yang tidak dapat aku prediksi. Kembali lagi aku harus mengatakan, jika Sarkara selalu membuatku menyetok ekstra sabar demi langgengnya hubungan kami.

"Kenapa diam?" tanyanya menyunggingkan senyum miring.

"Genna capek mau istirahat," jawabku merasakan keringat bercucuran melewati dahiku.

Sarkara menatapku dalam, setelahnya tangan besar itu mengelus rambut lepekku. Dirinya juga tidak lupa memakaikan helm, membuatku tersenyum hangat karena perlakuan romantisnya yang tiba-tiba.

"Ngapain lo senyum-senyum kayak gitu. Dasar genit," cibirnya menepuk kepalaku yang terlapisi helm.

"Kasar banget," keluhku memalingkan wajah.

"Naik atau gue tinggal." Ancaman itu membuatku menaiki jok motor dengan cepat.

Terkadang aku ingin seperti sepasang kekasih yang mana laki-lakinya selalu memperlakukan sang perempuan dengan lembut. Tidak seperti Sarkara yang selalu berlaku seenaknya. Tapi hatiku selalu mengingatkan bahwa tidak ada manusia sempurna. Sama sepertiku yang dihadiahi penyakit mematikan ini.

Aku kembali merasakan gejala osterosarcoma. Rasa nyeri pada kaki adalah gejala umum yang selalu aku rasakan. Menghadirkan kerutan setiap kaki kiriku digerakkan. Sampai keringat dingin bercucuran tanpa henti, membuatku ingin segera mengistirahatkan diri. Terus saja aku rapalkan kalimat penguat agar Sarkara tidak mengetahui sakitku.

"Udah sampai, sana turun. Nanti malam gue datang lagi," sahutnya tidak ingin dibantah.

Aku mengangguk pertanda sedang malas berdebat. Terlebih sakit yang aku alami terus saja menunjukkan eksistensinya. Secepatnya aku harus menjalankan aksiku. Harus.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang