Happy Reading
***
Buntut dari— beberapa hari lalu— mengiyakan ajakan makan bareng Arka sedang aku rasakan. Sudah seminggu Sarkara tidak mengizinkan aku ke kantin. Dirinya hanya memesan makanan lewat website kantin sekolah, lalu minta diantarkan ke kelas. Sungguh merepotkan. Pertanda ruang gerakku semakin dibatasi.
Kungkungannya tidak hanya sampai di situ. Perkumpulan antar tetangga tidak pernah lagi aku temui. Padahal tiga hari sekali kami harusnya berkumpul. Memilih rumah secara acak untuk ditempati.
Beberapa kali mereka merayuku. Tapi terhalang tingkah Sarkara yang kian menyebalkan. Katanya ini, semua ini salahku. Tanpa perlu dipikir, sejak kapan juga Sarkara pernah menjadi subjek kesalahan. Mustahil.
"Melamun lagi," sahut Sarkara.
Aku meliriknya. Sedang fokus mengerjakan tugas kewirausahaanku. Sarkara yang mengambil alih. Rencana wawancaraku dengan papa tidak terealisasikan. Tuan muda itu mengatakan jika papa tidak memulai usahanya dari nol. Seolah dirinya lebih tahu dari aku yang berstatus anak kandung papa. Sehingga Sarkara mencari rekan bisnis keluarganya— memiliki ciri-ciri seperti tugasku— untuk dijadikan informan.
"Tugas Genna udah selesai?"
"Bentar masih gue verbatim," jawabnya.
Sarkara kembali menyalakan rekaman suara. Berisi percakapan penanya dan informan. Rekaman suara itu berdurasi satu menit, sedangkan ada total dua puluh lima rekaman suara. Sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengerjakan.
"Rekamannya kenapa dipotong-potong sih Sarka. Jadinya 'kan lama." Aku memperhatikan tulisan Sarkara. Mirip dengan tulisanku. Sarkara sengaja melakukannya.
"Dangkal emang otak lo."
Aku mencubit lengannya. "Dilarang menghina Genna."
"Emang dangkal. Gitu aja enggak tahu."
"Iya udah, kalau gitu jelasin."
"Perhatiin." Sarkara mendekat ke arahku. "Biar kalau salah langsung bisa direvisi. Bayangin deh kalau misal gue salah verbatim di menit dua puluh. Apa enggak makan banyak waktu buat sesuain menitnya."
"Oh gitu." Aku membenarkan saja.
"Semua itu harus ada perhitungan Sayang. Sulit kalau lo kerja cuma asal kerja. Capek iya, maksimal enggak."
"Tau deh yang paling visioner," cibirku mendapat tatapan malas dari Sarkara. "Genna udah jadi sayangnya Sarka ya?" tanyaku menggodanya.
"Dari dulu." Sarkara mendorong bahuku. "Minggir lo."
Sepertinya sepertinya mode sedikit baik Sarkara sudah habis. Aku memilih menjauh dengan bibir terkatup rapat. Setengah jam aku lewati hanya untuk memandang Sarkara. Berpikir kapan ketampanan itu akan sirna. Tidak mungkin ketika Sarkara menatapku sekali. Aku kembali merasakan debaran pada jantungku.
"Tugas lo udah selesai."
"Terima kasih, Sarka." Aku mengambil tangan kanannya. Menggenggam seperti hendak bersalaman. "Senang bekerja sama dengan Anda." Mengguncangknya sekali.
"Gaya lo."
"Ish, Sarka enggak seru." Aku melipat tangan di dada. "Iya udah, Sarka mau dibawain minum apa?"
"Enggak perlu. Gue pulang aja."
"Sarka enggak mau lama-lama di sini?" tanyaku melihat jam dinding. Sudah malam, tapi masih jarum panjangnya masih di jam delapan. Kalau kata kak Kezia masih pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Berkisah (On Going)
Teen FictionKata mereka, Gennadiya itu terlahir dari keberuntungan. Kehidupan Genna membuat sebagian orang iri. Mulai dari orang tua yang sportif, sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, serta pasangan hampir sempurna serupa Genna sudah memenangkan lotre. Tid...