Prolog

418 17 2
                                    

Happy Reading

***

Aku tersenyum menatap asterik yang tampak berkilau menghiasi langit malam. Helaan napasku kian terdengar kala ucapan dokter kembali terngiang di telingaku. Aku harus tegar disaat semua orang tengah asyik menikmati masa mudanya. Takdir membawaku pada garis yang tidak mampu aku tanggung sendiri.

"Mengapa harus Genna Tuhan? Kenapa," monologku dengan nada putus asa.

Liquid bening kembali meluncur deras melewati kelopak mataku. Ingatan sewaktu aku mendengar vonis dokter—setelah melakukan biopsi—terus saja menghantui pikiranku. Netra dokter itu menatapku gamang dengan senyum dipaksakan. Entah apa yang akan aku lakukan sekarang. Rasa-rasanya kematian lebih mendominasi masa depanku. Terlebih aku juga tidak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan kabar pembawa lara kepada mereka—orang yang aku sayangi.

"Dan mungkin, enggak akan pernah." Sesakku tidak tertahan.

Bunyi gedoran pintu menghentikan tangis kepiluanku. Dengan langkah gontai aku berjalan mendekati asal suara. Sesaat setelah pintu terbuka, aku dapat melihat gurat kekhawatiran dari wanita paruh baya yang setia merawatku hingga sebesar sekarang.

"Genna kenapa?" tanyanya panik melihat keadaanku yang tampak mengenaskan.

"Genna enggak apa-apa, Ma. Tugas sekolah Genna belum selesai dan harus dikumpulin besok," jawabku berkilah dengan senyum terpaksa.

"Mau pindah sekolah?" tawar mamaku dengan mata menggerling manja.

Entah sudah berapa kali wanita paruh baya itu menawariku untuk pindah sekolah karena merasa tidak tega harus melihatku kesusahan dengan banyaknya peraturan dari sekolahku sekarang. Sedari awal memang mamaku tidak setuju jika aku bersekolah di SMA Jagapati, tapi karena wajengan papa yang mengharuskan aku mengikuti keinginannya, jadilah aku dan mamaku menjadi tim pengikut tanpa ingin membantah.

"Genna enggak mau buat papa kecewa. Lagi pula kurang satu semester lagi, setelah itu Genna lulus," tuturku dengan napas tercekat. Sedangkan mama, menatapku penuh sayang.

Beberapa bulan lagi mungkin penyakit yang aku derita semakin ganas menggorogoti tubuhku, itu sebenarnya yang ingin aku sampaikan jika saja keberanianku mengalahkan rasa bersalahku.

"Mama hampir lupa. Di bawah ada Sarka lagi diajak bicara sama papa," ucap mamaku menepuk jidatnya sekali.

Wanita paruh baya itu memang selalu bertingkah lucu. Tidak jarang aku menjadi penonton setia jika mama dan papaku sedang bertengkar karena masalah sepele.

"Genna cuci muka dulu," balasku berjalan cepat menuju kamar mandi.

"Jangan lama! Calon menantu mama jangan dibuat menunggu," seru mamaku dari depan pintu kamar.

Aku tidak berniat membalas perkatannya. Pikiranku kembali melayang pada bayang-bayang masa depan yang akan terjadi. Aku akan meninggalkan orang tuaku, pacarku, dan sahabatku. Cairan bening yang sedari tadi tertahan dipelupuk mata kembali jatuh menghiasi pipi putih pucatku.

"Genna!" Teriakan mama menyadarkanku.

Ternyata wanita paruh baya itu masih berdiri di kusen pintu dengan tangan menyilang di dada sembari menatapku garang. Tidak heran lagi dengan tabiatnya yang seperti itu, terlebih menyangkut Sarkara. Entah kenapa mamaku seakan terhipnotis dengan laki-laki yang sekarang berstatus sebagai pacarku.

"Iya, Mama. Ini udah kok," pasrahku menuruni undakan demi undakan tangga.

Aku dapat melihat Sarkara tersenyum hangat ke arahku, memperlihatkan lesung pipinya yang kian menambah kadar ketampanannya. Gejolak aneh dari dalam perutku kembali beraksi karena perasaan bahagia yang laki-laki itu tawarkan. Aku bahkan tidak menyadari jika kedua orang tuaku sudah meninggalkan kami berdua—untuk menikmati masa remaja—di ruang keluarga.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang