GS 3

101 6 0
                                    

Happy Reading

***

Baskara masih malu-malu menampilkan sinarnya. Tapi seragam sekolah sudah melekat indah pada tubuhku. Hari ini aku berniat ke rumah sakit— mendatangi dokter— sebelum berangkat ke sekolah, seperti katanya beberapa hari lalu.

Langkahku pelan menuju pintu utama. Hampir saja aku berhasil meraih gagang pintu ketika pundakku ditepuk pelan.

"Genna?" Aku tersentak mendengar suara itu.

"Mama ih, kagetin Genna aja," kesalku bercampur panik.

Mama menatapku bingung. "Mau ke mana?" tanyanya ragu.

"Ke sekolah dong Mama. Memangnya Genna mau ke mana lagi," timpalku berusaha menahan degupan jantung yang menggila.

Mamaku merilik jam dinding yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Berbeda dengan jam masuk sekolahku yang lebih lambat dua jam. "Enggak terlalu pagi?"

"Enggak kok. Genna ada tugas tambahan, jadi harus berangkat lebih awal."

"Terus Sarka mana?" tanya mamaku lagi.

Aku mengembuskan napas pelan, sebelum berujar, "Sarka enggak jemput Genna. Tadi juga Genna udah pesan ojek online."

Bersamaan dengan itu suara klakson berbunyi. Beruntung dewi fortuna membersamaiku untuk lepas dari introgasi yang mama lakukan pagi ini.

"Ojeknya udah datang, Ma. Genna pamit."

Aku berlari menuju gerbang begitu berhasil membuka pintu. Sedangkan suara tanya mama masih terdengar, membuatku mendengus tak urung menjawab asal.

"Tugas piket di kelas, Ma." Dengan amat yakin, kalimat yang aku lontarkan barusan akan menjadi awal Sarkara mendebatku hari ini.

"Neng, helmnya dipakai." Aku meringis mendengar teguran itu. Membuatku tersenyum kaku. Terlihat dari kaca spion, orang itu mengeleng pelan.

Perjalanan cukup lengang sehingga aku dapat menghirup udara pagi dengan rakus. Kembali kurasakan sesak karena penyakit yang aku derita. Rasanya aku tidak akan sanggup membuat netra mereka menatapku sendu. Bukan akhir penuh luka yang aku harapkan.

Entah harus berapa lama aku memendam semuanya sendiri. Setiap waktu hidupku seperti dibayangi dengan kebohongan tanpa henti. Belum lagi jika bertemu Sarkara di sekolah. Rasanya energiku akan terkuras. Sebab laki-laki itu mampu mengetahui kebohonganku hanya dengan menangkap gesturku.

"Neng, udah sampai," ujarnya menghentikan motor tepat di lobi rumah sakit. Tidak lupa aku berterima kasih dan memberikan orang itu tip yang tidak seberapa.

Keringat dingin membasahi telapak tanganku. Perasaan takut menghampiri pikiranku yang gamang. Seolah tidak peduli, aku memilih duduk di ruang tunggu. Memperhatikan poster yang terpajang pada dinding rumah sakit. Melirik sebentar ke arah ponselku, aku mendesah pasrah. Semalam aku menghentikan paksa semua sosial media yang terhubung dengan Sarkara. Belum siap rasanya harus mendapat semburan sepagi ini.

Melirik ke arah jam tangan— hadiah yang Sarkara berikan ketika aku berhasil menduduki peringkat tujuh di kelas— sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sekitar satu jam lagi dokter itu akan datang. Aku masih setia menunggu dengan bokong yang terasa pegal. Terlebih embusan air conditioner menembus epidermisku, membuat rasa kantuk melambai-lambai. Hampir saja aku tertidur— dengan posisi duduk— tatkala melihat seseorang melambaikan tangan ke arahku.

"Kamu daritadi di sini?" tanya dokter itu.

Aku mengangguk, "Genna daritadi tungguin Dokter, seperti ucapan Dokter beberapa waktu lalu," cicitku menautkan jemari.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang