GS22

54 2 0
                                    

Happy Reading

***

Sarkara menyetir seperti orang kesetanan. Tujuannya sekarang adalah sampai dan mencecarku sampai habis. Persepsiku tidak mungkin salah. Apalagi melihat rahagnya mengeras. Menciptakan hawa mencekam untukku.

Mobil Sarkara berhenti di basement apartemen. Ingat sekali sewaktu pertama kali ke sini— hubungan kami tidak berakhir baik— aku memutuskan Sarkara sepihak.

"Sini lo," ucapnya menarikku keluar. Membanting pintu mobil membuat aku tersentak.

Sedari tadi aku terus menunduk. Meremas jemari untuk menetralkan diri dari kegugupan. Sarkara menekan nomor lift setelah kartu akses di tempelkannya. Aku semakin takut ketika pintu lift terbuka.

Gerakanku mungkin terlihat lambat. Dengan tidak sabaran Sarkara mendorongku keluar. Tidak. Sarkara mendorongku hingga pintu apartemen terbuka.

"Duduk!"

Melihat isi apartemen Sarkara sudah berubah dari peristiwa penghancuran itu. Sofa yang sekarang aku duduki juga sudah diganti. Hanya wallpaper dindingnya yang sama dari sebelumnya.

"Gue enggak tahu lo sebodoh ini," ujarnya setelah duduk di depanku. Kami hanya dibatasi meja berukuran persegi. "Harusnya lo sadar kalau diantara mereka semua, enggak ada yang benar-benar care sama lo."

Aku menggeleng tidak setuju, "Sarka cuma salah paham. Mereka baik kok." Selama aku mengenal mereka, semuanya ramah. Walaupun lontaran mereka kadang-kala membuat sakit hati.

"Baik dari mananya! Lo enggak lihat mereka diam aja waktu lo dipaksa minum. Siapa yang belain lo? Jawab gue!" Sepertinya aku sudah salah bicara. "Enggak ada 'kan!"

"Jangan bentak Genna," lirihku menunduk dalam.

"Terus apa? Baikin lo setelah kejadian ini?" Terdengar decihan Sarkara, "jangan harap Genna. Kesalahan lo fatal."

"Iya Genna tahu. Genna salah. Genna minta maaf."

"Gue enggak butuh maaf lo."

Sarkara berdiri mendekatiku. Menarik daguku hingga mataku menyorotnya. "Gue udah protect lo dari lama. Tapi apa, sekali kecolongan gue hampir gila."

Buliran bening pada mataku berhasil lolos. "Sakit Sarka." Rahangku ditekannya kuat.

"Untung aja gue aktifin GPS hp lo. Kalau enggak, gue enggak bisa bayangin hancurnya gue gimana." Tatapan Sarkara meneduh. Tapi cengkraman pada rahangku semakin menguat.

Aku menggeleng dalam jangkauannya. "Lepas Sarka. Pipi Genna sakit."

"Lebih sakit lo atau gue?" tanyanya sarkastik. "Gue lihat lo minum Genna. Gue lihat semuanya. Shit!" Sarkara menghempas wajahku. Menghadirkan perih untuk sesaat.

Sarkara bersungkur dengan tangan menangkup wajahnya sendiri. "Gue terlambat tolongin lo." Terdengar nada frustasi dari Sarkara.

Tanganku bergerak mengusap pungung tegap Sarkara. Rasa bersalah melingkupku. "Genna minta maaf Sarka." Hanya itu yang mampu aku ucapkan setelah mendengar pengakuannya.

Sarkara menyorotku tajam. "Lo enggak sayang tubuh lo. Lupa kalau penyakit lo masih ada?!" Hawa mencekam kembali menerpaku.

"Sarka," lirihku.

"Enggak ingat gue lagi usahain kesembuhan lo? Udah lupa sama mama papa?" Sarkara mendorong bahuku hingga bersandar di sofa. "Lo emang berengsek Genna. Lo cuma bisa nyusahin kita semua."

Kini aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Perkataan Sarkara seolah membawaku pada kenyataan. Ucapannya benar, tapi aku merasa sakit hati. Menolak kebenaran itu.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang