GS23

29 1 0
                                    

Happy Reading

***

Sarkara mengantarku pulang setelah mempersilakan aku menyantap sarapan— dibuat khusus untukku.

Tanganku berkeringat dingin. Tidak bisa menyembunyikan kegugupan, akibat tragedi semalam. Aku takut, teramat takut sampai luput bahwa Sarkara telah membuka pintu samping kemudi.

"Sini lo," ajaknya meraih tanganku. Tidak ada kehangatan yang melingkupiku.

Kegelisahanku bertambah ketika Sarkara membawaku menuju beberapa rumah, melewati rumahku. Aku bahkan baru tahu jika tujuan kami bukan ke rumahku.

"Sarka, ini rumah siapa?" tanyaku hanya mendapat tatapan sinis.

"Gue harap lo enggak tiba-tiba amnesia."

Pintu gerbang dibuka ketika Sarkara menekan bel— terletak di bawah nomor rumah. Begitu pintu dibuka, terlihat seorang pria paruh baya.

"Tamu pak Bos, ya?" tanyanya tersenyum hangat. "Mari masuk, Mas sama Mbak ditunggu di dalam," sambungnya.

"Terima kasih," balasku sembari tersenyum— menyembunyikan kegugupan.

Dari sudut pandangku sebagai seseorang yang berstatus kekasihnya. Sarkara terlihat mengeraskan rahang. Tatapannya semakin tajam. Seakan menusukku ketika bola matanya beralih— sejenak— menatapku.

Setengah pintu utama rumah itu terbuka. Terlihat beberapa remaja seusia kami di dalamnya. Berdiri menunduk takut seolah menanti vonis hukuman mati.

Aku tidak berhiperbola jika keringatku serasa besaran biji jagung. Jantungku memompa lebih cepat. Napasku tercekat. Otakku seakan terus mengolah informasi— membuat rancu pikiranku. Satu yang pasti, aku takut.

"Hukuman mereka sedang berlangsung," lirih Sarkara menempelkan bibirnya tepat di daun telingaku.

Bulu kudukku meremang. Begitu Sarkara melenggang masuk— tanpa dipersilakan— semuanya menatap kami dengan berbagai ekspresi. Aku sempat melihat Teya— ada raut kemarahan pada netranya.

"Jadi lo yang main asal laporin gue?!" Kak Kezia bergerak maju. Meraih kerah kemeja Sarkara. Pipinya sudah menjadi aliran air mata.

"Lepasin tangan lo." Sarkara menyentak tangannya, membuat kak Kezia tersentak mundur. Tenaganya tentu tidak sebanding dengan Sarkara.

Sarkara membawaku duduk— tanpa permisi— pada salah satu kursi panjang bertekstur lembut, menyerupai beludru.

"Ini semua karena ulah cowok lo, Genna!" pekik kak Kezia seperti hilang kendali.

"DIAM KAMU KEZIA!" Pria berambut putih klimis dengan pakaian elegan itu berdiri. Menarik kak Kezia untuk kembali berjajar— dengan beberapa remaja lainnya— di tengah-tengah kami.

Di samping kak Kezia terdapat Dipta, disusul Teya, kemudian Aarav, dan terakhir Daksa. Semuanya menunduk takut, kecuali kak Kezia menatap Sarkara murka.

"Kamu itu cuma tahu bikin malu keluarga. Berapa kali Papi bilang, kurangi kadar minuman alkohol kamu itu."

"Pi!!"

"Dengar dulu!" Orang yang kak Kezia panggil papi itu menyela. "Kamu dengan kurang ajarnya selalu melanggar aturan yang papi buat," sambungnya menyugar rambut ke belakang.

Beberapa menit keheningan menerpa. Semua larut dalam pikiran masing-masing.

"Saya tidak mau tahu. Keluarga kalian harus tanggung jawab. Dipta itu anak laki-laki saya satu-satunya. Tapi karena ulah anak kalian, Dipta terancam gagal masuk kepolisian."

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang