GS 10

67 3 0
                                    

Happy Reading

***

"Genna, bangun."

Aku terbangun ketika mendengar gedoran pintu yang tidak kunjung berhenti. Diselingi suara mama yang terus memanggil namaku. Sontak aku terbangun dengan mata membola. Jam sudah menunjukkan pukul 08.17.

"Genna, bangun. Lihat jam Genna. Ini sudah jam berapa," teriak mama menahan kesal.

"Iya, Ma. Genna udah bangun. Ini lagi mau mandi," timpalku bergegas menuju kamar mandi.

Secepat kilat aku memakai seragam baruku—pemberian Sarkara kemarin. Aku sudah tidak menghiraukan penampilanku yang tampak acak-acakan. Tali sepatuku bahkan hanya dimasukkan ke dalam sela sepatu. Langsung aku bergegas memesan ojek online setelah berpamitan dengan mama.

"Buruan, Bang. Genna udah telat banget ini," seruku memukul helm ojol itu karena dilanda panik.

"Sabar dong, Neng. Enggak lihat ini jalanan lagi macet," tunjuknya yang sebenarnya aku juga melihat. "Makanya kalau masih sekolah enggak usah begadang nonton drakor, Neng. Lihat 'kan siapa yang rugi kalau kayak gini," sambungnya memberiku wajengan salah sasaran.

"Abangnya sok tahu nih. Genna itu kerja," jeelasku tidak terima.

"Kerja apa Neng, kalau boleh tahu?"

"Pelayan Bang. Nanti mampir ya, di café tempat Genna kerja. Menunya enak-enak loh," jawabku melakukan promosi gratis.

"Kirain Neng anaknya orang kaya." Kenapa juga nada suara ojek online itu terdengar lesuh. Jujur saja aku sedikit tersinggung.

"Memang kenapa kalau Genna bukan anak orang kaya. Genna juga manusia kok." Aku mengetuk helm ojek online itu. "Enggak baik tahu beda-bedain orang kayak gitu. Abangnya mau dapat karma?" cecarku panjang lebar.

"Istighfar, Neng. Saya cuma bilang," timpalnya mengelus dada. Aku bisa melihat orang itu meringis sembari mengusap dada.

"Genna nonis," ketusku.

Aku mendengus saat melihat jam sudah menampilkan angka 09.00. Ini semua karena ulahku yang larut dalam nestapa. Melupakan jika masih ada hari esok yang harus aku jalani seperti manusia pada umumnya.

"Neng, udah sampai," serunya menghentikan motor di depan gerbang sekolahku.

Aku menyodorkan uang ribuan beberapa lembar, "ini uangnya."

"Tipnya enggak ada Neng?"

"Genna 'kan bukan orang kaya." Aku menekan setiap kata yang aku lontarkan.

Ojek online itu tersenyum salah tingkah, "makasih, Neng."

"Iya. Genna doain semoga dapat penumpang orang kaya." Entahlah aku seperti melampiaskan kekesalanku kepada ojek online itu.

Melangkah menuju lubang kecil sebagai pembatas untuk melihat pos satpam. Orang di dalam sana menatapku dengan kepala digelengkan beberapa kali. Sedangkan aku tersenyum salah tingkah. Kembali melanggar paraturan sekolah.

"Bapak perhatikan Neng sering terlambat, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah," sindirinya dari balik gerbang.

"Maaf ya, Pak. Genna telat lagi," balasku tersenyum lebar.

"Sekarang alasannya apa lagi?" tanyanya penuh selidik.

"Kok gitu sih, Pak," seruku tidak terima. "Bapak enggak tahu aja, Genna itu kalau pulang sekolah harus kerja dulu. Bapak lihat enggak, itu café di depan."

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang