Happy Reading
***
Aku masih bergelung di atas kasur. Rasa malas menderaku, terlebih hari ini adalah tanggal merah— hari raya umat hindu— tertulis di kalender.
Selimut sudah membelit tubuhku. Hampir saja mataku kembali tertutup, ketika mengingat perkataan Sarkara kemarin.
"Besok pagi, lo berdiri di sini." Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku bahkan sudah menghapal kalimatnya.
Tergesa aku keluar dari jeratan selimut. Terbentur ketika kakiku masih terlilit. Daguku menyentuh karpet bulu.
"MAMA!!!" teriakku melihat bercak darah pada karpet bulu itu.
Walaupun tidak langsung menyentuh dinginnya lantai, tapi bunyi daguku akibat jatuh barusan tidak bisa dikatakan sepele.
"Dagu Genna berdarah!!" Aku memanggil mama histeris. Rasanya perih bercampur nyeri.
Dibalik tangisku pagi ini, aku masih bersyukur karena bukan wajahku yang menyentuh lantai. Tadi secara spontan aku menengadah, saking terkejutnya.
"Ya Tuhan Genna ...," pekik mama melihat kondisiku.
Aku belum merubah posisi sejak terjatuh— secara mengenaskan— beberapa menit tadi. Tangisku kian terdengar begitu mama membantuku berdiri.
"Kenapa bisa jatuh?" Mama bertanya dengan mata tertuju pada daguku.
"Sakit Mama," lirihku.
"PAPA!!!" teriak mama tidak kalah besar dari teriakanku tadi.
Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Papa datang dengan kemeja belum terkancing. "Masih pagi sudah teriak-teriak."
"Lihat itu dagu Genna." Mama menekan pelan daguku. "Jatuh lagi," sambungnya.
"Sebentar, papa ambil kotak P3K dulu."
Mama menuntunku duduk di tepi ranjang. Mengambil air hangat dari water heater. Dibasuhnya daguku dengan kain— entah didapat dari mana— setelah menggeleda isi nakasku.
"Genna kenapa bisa jatuh?" Kembali diulang pertanyaan itu.
Aku mengusap sisa-sisa air mata, "kaki Genna kelilit selimut, Mama."
Terdengar helaan napas mama, "lain kali hati-hati, ya. Kalau bangun tidur jangan langsung turun. Genna duduk dulu, berdoa, habis itu singkap selimutnya."
"Iya, Mama. Maafin Genna," sesalku.
Papa datang— sudah mengancing kemejanya— membawa kotak P3K ke hadapan mama. Secara telaten mama mengobati lukaku. Langkah terakhir dari yang dilakukannya adalah menutup lukaku dengan kain kasa.
"Masih sakit?" Papa bertanya ketika melihat bibirku bergetar. Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Hatiku memang selalu dipenuhi nuansa melankolis, terutama ketika seseorang menaruh perhatian berlebih.
"Lain kali hati-hati, Sayang." Tangan papa bergerak maju mengusap pipiku. "Papa berangkat kerja dulu." Setelahnya pelipisku dicium hangat.
"Papa enggak libur?" tanyaku dengan kening berkerut.
Senyum papa menghiasi wajahnya. Kini papa yang kembali menggeleng. "Papa pinjam mama dulu, ya. Cuma sebentar."
"Iya, Papa. Sampai lama juga boleh kok," ujarku menyorot geli reaksi mama. Terlihat wajahnya merona malu.
"Sudah ah, anak sama bapak sama-sama suka iseng."
Pintu kamarku tertutup begitu papa menuntun mama menuju lantai satu. Aku tersenyum bahagia melihat kehangatan orang tuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Berkisah (On Going)
Teen FictionKata mereka, Gennadiya itu terlahir dari keberuntungan. Kehidupan Genna membuat sebagian orang iri. Mulai dari orang tua yang sportif, sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, serta pasangan hampir sempurna serupa Genna sudah memenangkan lotre. Tid...