GS17

89 4 0
                                    

Happy Reading

***

Genggaman tanganku pada mama mengerat kala rembulan menghiasi langit malam. Aku bersama kedua orang tuaku berjalan menuju tempat acara diadakan. Kami semua sengaja mengosongkan perut untuk bisa menikmati kudapan di rumah Keluarga Pak Dandin.

Dari arah pandangku terdapat beberapa remaja seusiaku. Mereka mengobrol dengan piring penuh berisi makanan.

"Ayo Na."

Suara mama mengalihkan atensiku. Mempercepat langkahku untuk menyusul mama yang genggamannya sudah aku lepaskan.

"Genna malu," cicitku.

Keberanianku menghadapi orang baru dapat dipertanyakan. Aku tidak terbiasa bertegur sama dengan gerombolan orang baru. Jika hanya satu dua atau yang tidak sengaja harus berinteraksi denganku, aku tidak masalah.

"Tenang saja. Di sini ada mama sama papa," timpal papaku.

Orang tuaku membawaku menuju tuan rumah. Keluarga Pak Dandin menyambut kami hangat. Bercengkrama sesaat sebelum dipersilakan menikmati kudapan.

Selama hampir satu jam berada di rumah ini. Aku selalu mengekori ke mana pun orang tuaku pergi. Tidak betah rasanya jika sendiri di tempat baru.

Sampailah ketika aku melewati gerombolan remaja itu— tampak asyik bermain kartu— tanganku ditahan oleh seseorang.

"Mau gabung?"

Netraku menatap mama meminta pertolongan. Tapi papa yang tidak tahu apa-apa langsung menyela, "Bersosialisasi Na. Jangan ngintilin mama, papa terus."

Terpaksa aku duduk di samping Daksa. Menempati lingkaran yang baru mereka sediakan karena mengubah posisi duduk menjadi lebih mundur.

"Kamu tahu cara mainnya?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

Terdengar helaan napas dua gadis di depanku. "Kalian lanjutin permainan aja. Genna mau lihat cara mainnya aja," ujarku.

"Mau aku ajarin?" tanya Daksa. Aku kembali menggeleng.

Selama beberapa menit aku menikmati permainan yang mereka suguhkan. Beberapa kali aku tertawa ketika cowok berbaju biru itu mengumpat karena beberapa kali harus menelan kekalahan.

"Udah ah, capek," sahut cewek di samping cowok berbaju biru.

Aku terdiam memikirkan kejadian ini akan menjadi momen hangat dalam hidupku. Memberi warna untuk kehidupanku yang monoton— maksudnya selalu berporos untuk Sarkara.

Tapi malam ini berbeda. Aku seolah membuka lembaran baru. Bertemu orang-orang baru yang memiliki kegiatan berbeda dariku.

Daksa memukul pelan punggung tanganku. "Genna. Kamu daritadi ditanya tuh."

Aku gelagapan, "oh, maaf. Genna enggak dengar," sesalku kemudian.

"Lo gue undang masuk grup whatsApp ya," ujar orang itu.

"Ha?" Keningku berkerut. "Grup whatsApp?" beoku.

Kepala cowok yang berujar tadi ditepuk keras. "Goblok si Aarav. Minimal kenalan dulu lah. Jangan langsung undang anak tetangga sembarangan."

Setelah itu mereka berempat memperkenalkan diri— minus Daksa tentunya. Kezia, perempuan yang sudah berkuliah semester tiga itu menjelaskan alasan mengapa mereka memasukkanku ke grup. Alasannya sederhana, karena aku masih terhitung ke dalam bagian tetangga mereka.

"Sebenarnya grup ini udah lama ada sih," ungkap Teya— si Anak Homeschooling.

"Tepatnya lo yang buat. Karena kesepian enggak punya teman."

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang