GS 5

111 5 0
                                    

Happy Reading

***

Entah bagaimana kehidupan Sarkara ketika aku sudah tidak berada di sisinya. Selama tiga tahun kami berpacaran, cukup banyak aku mengetahui watak Sarkara yang memang suka berlaku semena-mena. Tapi itu sebagai bentuk penyaluran rasa sayangnya karena tidak dibesarkan oleh sosok perempuan yang disebutnya ibu.

Dibalik banyaknya kelebihan yang Sarkara miliki, laki-laki itu hanya meminta harapan sederhana— ingin memiliki ibu. Menjalin hubungan denganku membuat kehidupan Sarkara hampir sempurna. Sosok mama mampu membuat laki-laki itu merasakan kasih sayang ibu. Tidak hanya mencintaiku, Sarkara juga pernah mengatakan kepadaku bahwa dia ingin menjadi bagian dari keluargaku.

Aku masih terus menyalahi takdir karena menumpahkan sakit yang tidak mampu aku tanggung sendiri. Garis kehidupanku terlampau pelik. Membiarkan aku harus berhenti menyelami waktu lebih lama lagi.

Tangisku kembali menyerbu pada kesunyian malam menjelang fajar— ditemani lampu tidur berwarna jingga. Jujur saja, aku tidak sanggup untuk melihat deretan angka yang tertera pada kalender. Seolah menyadarkanku untuk semakin berlarut pada kesedihan dipenghujung sisa umur— yang kian melemah. Teramat yakin bahwa penyakit ini tidak akan membiarkanku hidup damai. Setiap detik adalah kesempatannya menggerogoti tulangku.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk aku dihabisi, tetapi proses penghabisannya adalah neraka bagiku. Sehingga sekarang adalah cara terbaik melepas siapapun yang berpotensi membuatku dirundung rasa bersalah.

Lamunanku tersadar ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Bergegas aku menuju kamar mandi sehingga tidak perlu berinteraksi dengan mama. Derap langkah kaki terdengar, dibarengi dengan suara dari kamarku.

"Iya, Ma. Genna lagi mandi," timpalku.

"Jangan lama Na. Di bawah sudah ada Sarka." Balasan mama membuat jantungku memompa lebih cepat.

Aku sudah menduga jika Sarkara tidak mungkin melepaskanku semudah itu. Sarkara memiliki seribu satu cara untuk membuatku berada dalam kungkungannya. Seperti sekarang, laki-laki itu menyambut kedatanganku dengan menampilkan senyum—aku tahu pasti dirinya sedang mengejekku—merekah. Siapa pun yang melihatnya akan menilai bahwa aku dicintai begitu dalam.

"Duduk sini, Sayang." Panggilnya menggeser kursi ke belakang.

Netraku melirik orang tuaku. Mereka tampak senang melihat perlakuan Sarkara yang begitu mendamba. "Terima kasih," balasku.

"Genna mau bawa bekal?" tanya mama ketika aku berujar kenyang dengan sarapan yang masih tersisia setengah.

"Genna udah kenyang, Ma."

"Biar Sarka aja yang habisin, Ma." Melalui ekor mataku, aku melirik Sarkara yang sudah melahap makanan sisaku.

Hatiku seperti merasakan nyeri sekaligus tergelitik. Sarkara berhasil menempati posisi tertinggi dari seorang yang tidak memiliki hubungan darah denganku. Kerja keras Sarkara untuk mendapat maafku—tidak dengan rayuan kata—patut diacungi jempol.

Tangan besarnya mengisi sela-sela jemariku, membuatku berdiri mengikuti pergerakannya. "Sarka sama Genna berangkat dulu, Ma, Pa."

"Jangan ngebut kamu. Ingat kamu bawa anak kesayangan saya." Papa memperingati dengan nada ketus.

"Iya, Pa."

"Sama satu lagi." Suara papa menghentikan langkah kami. "Saya bukan papa kamu. Berhenti panggil saya papa."

"Iya Om, iya," nada pasrah Sarkara terdengar.

Perjalanan kami hanya diisi dengan keheningan. Seolah kompak mengunci mulut tanpa ada yang ingin berbicara lebih dulu. Aku pun tidak menolak ketika Sarkara mengisyaratkan padaku untuk duduk pada kursi samping kemudi. Hari ini Sarkara membawa mobil—sebelumnya tidak pernah aku lihat—karena semalam motor vespa miliknya sudah tidak berbentuk.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang