GS 11

106 4 0
                                    

Happy Reading

***

Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, aku menjadi sering mendapat perundungan. Walaupun tidak separah seperti cerita novel yang pernah aku baca, tetapi cukup membuatku merasa dikucilkan. Seperti sekarang. Setelah aku turun dari bus, banyak yang sengaja menyenggolku. Mereka seakan kompak ingin menjadikanku bulan-bulanan sebelum masa SMA berakhir.

Beberapa hari sebelumnya setelah perkelahianku di kantin tempo hari, aku semakin menjadi topik pembicaraan. Sampai Elia— sahabatku— selalu diikuti oleh siswi untuk sekedar mendapat informasi terkait diriku. Aku tidak tahu apa alasan mereka sebenarnya. Seolah membicarakanku adalah hal yang berdosa jika dilewatkan.

Teringat betul jika Elia sampai mengadu melalui via telpon. Pembahasan kami yang mulanya tertuju pada Arka— gebetan Elia— berujung berlabuh padaku. Tentu saja, karena di tempat les yang diikutinya— mayoritas murid SMA Jagapati— untuk persiapan kelulusan menjadi ajang mengorek informasi tentangku.

Aku meringis mendapati wajah Elia yang bersungut-sungut sewaktu bercerita malam itu. Semuanya aku rekam dan menyimpannya pada memori otakku. Aku berharap, penyakitku tak membuatku melupakan Elia.

"Genna!"

Aku baru tersadar ketika Elia menepuk pundakku. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Berbeda denganku yang tampak mengamati sekitar, mencari kehadiran Sarkara, Elia tampak berbeda ketika dilihatnya sosok Arka berdiri di koridor lantai tiga. Gadis remaja itu bergerak salah tingkah dengan senyum terkulum. Tidak ingin menganggunya, aku bergegas masuk ke ruang kelas.

"Lo kok tinggalin gue," kesalnya bertepatan dengan masuknya guru kimia.

"Ngomelnya nanti aja," sahutku mengeluarkan buku dari dalam tas. Sementara Elia mendengus dan ikut mengeluarkan buku.

Bel istirahat kedua mengintrupsi aktivitas belajarku. Aku mendesah lega begitu guru berpamitan keluar. Jujur saja karena sedari tadi aku sudah menahan lapar. Semenjak perdebatanku dengan mama, hubungan kami mulai merenggang. Bahkan mama sudah tidak menyiapkan sarapan lagi. Aku tahu betul jika wanita paruh baya itu terlampau kecewa karena sikapku. Anak tunggal yang didiknya dan selalu menjadi gadis penurut, tiba-tiba saja menunjukkan sikap berbeda.

Tidak ada pembelaan yang aku berikan karena sikap mama. Sebaliknya aku merasa sikapku adalah salah satu jalan yang harus aku mainkan hingga penyakit ini berhasil menguasaiku tanpa bisa berpaling. Bahkan jika aku menjadi mama, mungkin aku sudah memainkan fisik untuk membuat anak tunggalnya sadar.

"Bosan gue lihat lo melamun terus," cibir Elia menarikku mengikuti langkahnya.

"Elia mau bawa Genna ke mana?"

"Gue lapar," jawabnya.

Setelah beberapa menit berlalu, aku berhasil duduk di depan Elia dan Arka. Kedua orang itu tampak melakukan pendekatan dengan gerakan lambat. Arka juga tidak menunjukkan perhatian berlebih kecuali memesankan Elia makanan dan membawakannya. Sementara aku, berniat memesan sendiri makananku.

"Genna pesan makan dulu."

"Hati-hati," sahut Arka.

Netraku menelisik harga makanan yang terpajang di stan kantin sekolah. Mencari harga termurah yang dapat menyanggah rasa laparku. Itulah alasan sebenarnya aku menolak ketika Arka hendak memesankan mie ayam. Tahu betul jika harga mie ayam di kantin sekolahku terbilang premium.

Aku memilih salah satu menu termurah setelah mengingat uang yang tersisa di saku bajuku. "Mbak, Genna pesan mie sedap goreng tapi pakai kuah. Sama toping bawang gorengnya dibanyakin."

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang