GS28

40 1 0
                                    

Happy Reading

***

Tidur soreku terganggu akibat dering ponsel. Aku tidak menghiraukan, berharap panggilan itu berhenti sendiri— harapanku sia-sia.

Tanpa membuka mata aku menggeser ikon ke atas. "Jangan ganggu tidur Genna!" kesalku.

"Siap-siap gih. Sebentar lagi gue sampai."

Mataku terbelalak. Melihat nama si Penelpon— itu Sarkara. Kantukku lenyap begitu saja.

"Sarka ajak Genna ke mana?" tanyaku sudah menyampirkan selimut. Sangat yakin kakiku tidak akan tersangkut.

"Pacuan kuda," jawabnya.

"Ngapain? Genna enggak mau ikut. Lagipula Genna belum prepare."

"Sekarang waktunya lo buat siap-siap. Tiga puluh menit lagi gue udah di depan."

"Ngeselin. Kenapa Sarka enggak bilang waktu antar Genna pulang. Kalau kayak gini 'kan Genna juga ya—,"

"Berisik."

Belum sempat aku menyela, Sarkara lebih dulu mematikan sambungan telpon. Melupakan diriku yang kembali bersungut kesal.

Sepanjang mempersiapkan diri, bibirku tidak hentinya mengomel. Ribuan kosakata sudah meluncur deras bagai sapuan air terjun.

Beberapa lembar pakaian berhamburan memenuhi lantai kamarku, sama halnya dengan ranjang berukuran king size. Semua ini karena kebingunganku hendak memakai pakaian apa.

Seumur hidup tidak pernah— terpikirkan olehku— aku mengunjungi tempat itu. Lagipula aku takut kakiku terinjak kaki kuda.

Elia pernah bercerita saat berumur 5 tahun. Kedua kakinya pernah terinjak kuda. Katanya karena berdiri di belakang sambil memainkan ekor kuda miliknya— hadiah ulang tahun dari ayahnya— sehingga menghalangi kuda itu untuk mundur. Berujung Elia dilarikan ke rumah sakit akibat kuku— ibu jari— kakinya terlepas. Menurutku itu cerita mengerikan.

Notifikasi ponselku berbunyi. Aku meliriknya sekilas. Tertera pesan dari Sarkara. Mengatakan jika dirinya sedang mengobrol bersama mama. Pertanda Sarkara sudah sampai.

Bergegas aku turun menghampiri Sarkara. Takut jika membuatnya menunggu terlalu lama. Mulutnya selalu menyemburkan kalimat penyayat hati.

"Lo yakin pakai baju itu?" Jujur saja aku sedikit tersinggung.

Aku melirik seseorang di samping Sarkara. "Mama, memangnya baju Genna jelek?" tanyaku.

"Gue enggak bilang jelek." Terdengar helaan napasnya. "Kita mau ke pacuan kuda. Ngapain lo dandan ala-ala princess gitu. Di sana enggak ada pangeran."

"Iya udah. Anggap aja di sana Genna bakal ketemu pangeran berkuda."

Mama maju mengelus lenganku. "Genna ganti baju, ya. Takutnya nanti baju Genna kotor."

"Dengar sendiri 'kan." Sarkara menang— lagi.

Aku tidak sendiri menaiki tangga. Mama menemaniku memilih pakaian yang sekiranya sesuai.

Beberapa menit mama mencari satu pasang pakaian— lengkap dengan topi, sarung tangan dan sepatu yang biasa dipakai berkuda. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan barang itu mendiami lemari pakaianku.

Aku menerima pakaian itu ketika mama saodorkan. Melangkah menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian.

Kaos hitam dengan logo kecil di dada— berbordir emas— berlengan pendek sudah aku kenakan. Celana bahan membentuk kaki jenjangku sudah merekat indah, berwarna putih tebal. Bersyukur celana itu dilapisi luaran rok pendek. Membuat tubuhku tidak terlihat begitu ringkih.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang