GS 8

84 3 0
                                    

Happy Reading

***

Sengatan baskara berhasil— menembus jendela kamarku yang masih tertutup gorden— membangunkanku dari tidur singkatku. Bernapas lega ketika menyadari bahwa sekarang weekend. Membuatku tidak harus bertatap muka dengan Sarkara di sekolah.

Usia yang masih menginjak belasan tahun, tapi aku sudah dirumitkan dengan semua masalah berat yang menerpa. Harusnya sekarang aku tengah menikmati masa-masa remajaku dengan orang terkasih. Lagi dan lagi aku harus mengeluhkan penyakit pembawa petaka ini.

Aku bangkit menuju kucuran air. Menyegarkan diri dari peliknya permasalahan yang tengah aku alami. Baru juga aku menikmati tenangnya hari libur, tetapi nyeri pada tulangku kembali mendera. Aku juga bingung kenapa rasa nyeri itu semakin merundungku, padahal kata dokter, penyakitku masih masuk pada tahap stadium satu. Aku seakan tidak diberikan kesempatan untuk menikmati libur dengan damai.

"Genna, ayo bangun. Makan dulu. Ini sudah siang loh," panggil mamaku dari balik pintu.

Aku mengambil asal baju rumahanku. "Iya, Ma. Genna pakai baju dulu," timpalku cepat tidak ingin membuat wanita paruh baya itu menunggu.

Dengan tenang aku menuju meja makan yang hanya ada mama seorang diri. Biasanya di hari weekend kami— termasuk Sarkara di dalamnya— akan berkumpul sampai petang menyambut.

Aku menghampiri mama dan mengambil makanan yang tersedia di meja makan. Mampu aku lihat mama menatapku dengan raut wajah penasaran. Tahu pasti jika mataku membengkak karena semalam aku habiskan dengan menangis.

"Genna nangis ya semalam?"

Mamaku bertanya dengan penuh kehati-hatian. Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Seolah mengerti, mama menambah lauk di piringku.

"Makan yang banyak, ya."

Aku tersenyum hangat melihat raut wajah mama yang terlihat khawatir. Air mataku meluruh bersamaan dengan senyum mama yang mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Terselip permohonan semoga kondisi finansial yang sedang menimpa keluargaku dapat teratasi.

"Sarka kok belum datang ya, Na? Sarka enggak jadi datang ke rumah, ya? Telpon mama juga enggak diangkat sama dia. Bikin khawatir aja."

Air mataku tidak bisa dicegah. Topik Sarkara menjadi perbincangan. Sampai beberapa menit berlalu aku tak kunjung menimpali rentetan pertanyaan mama. Hanya ada tangis kebisuan yang mampu aku tampilkan. Mama seolah mengerti, tapi tidak ingin menyimpulkan.

Mamaku berdiri, duduk di sampingku setelah mendekatkan kursi. Memelukku dengan hangat, berharap dengan itu mampu mengurai masalah yang aku alami.

"Genna mau berbagi sama mama?" tanyanya menawarkan diri.

"Genna udah selesai sama Sarka, Ma." Aku menarik napas pelan. "Hubungan kami udah berakhir. Genna putusin Sarka," sambungku menyiratkan kepiluan.

Wanita paruh baya itu mengendurkan pelukan. Menelisik jauh ke dalam mataku seolah mencari kebohongan dari ucapanku barusan. Mama menggeleng tidak percaya. Mungkin semua orang akan berekasi serupa ketika mendengar kabar kerenggangan hubunganku. Aku telah mengakhiri letupan pembawa kebahagiaan bersama Sarkara.

"Boleh mama kasih saran?" tanyanya pelan. Aku membalas dengan anggukan.

"Mama enggak akan tanya kenapa Genna putusin Sarka. Tapi, mama berharap Genna bisa pertimbangkan dengan matang sebelum semuanya terlambat." Mama mengelus suraiku. "Mama enggak mau Genna menyesal," sambungnya.

"Genna enggak akan menyesal, Ma," balasku menyakini keputusan yang sudah aku ambil.

"Semua keputusan ada di tangan Genna," balasnya.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang