GS20

74 2 0
                                    

Happy Reading

***

Pintu kamarku diketuk tidak sabaran. Melihat jam dinding— tersorot cahaya lampu— masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Mama biasa menyambangi kamarku, tapi tidak pernah sepagi ini.

Bergegas aku mendekat ke arah pintu. Tidak peduli penampilanku yang tampak acak-acakan. Gaya tidurku memang tidak pernah berubah. Selalu bergerak searah jarum jam.

"Lo sengaja anggurin chatan gue semalam!"

Oh tidak! Sarkara sudah berdiri di depanku dengan tatapan horornya. Hampir menyentil keningku tapi dengan cepat aku menghindar.

"Jangan main kasar Sarka."

"Ngeselin lo."

Aku diam memperhatikan tingkah Sarkara. Sedari tadi kepalanya bergerak menatap sekitar. "Sarka cari apa sih?" tanyaku dibuat bingung.

"Minggir. Gue mau masuk."

Tanpa permisi Sarkara menyingkirkan tanganku yang menghalangi pintu. Langkahnya dengan cepat menuju ranjang. Menjatuhkan diri di tangah dengan posisi telentang.

"Gue mau tidur di sini." Diucapkan ketika memperbaiki posisi tidurnya. "Lo jangan ganggu gue."

"Terbalik enggak sih. Ini kamar Genna, dan Sarka yang gangguin Genna." Aku tidak terima dengan tuduhan itu.

Sekuat tenaga aku menyingkirkan Sarkara dari tempat tidurku. Berdiri melompat untuk membuat tidurnya terganggu. Lelah berusaha, aku memilih duduk. Menggeser badannya supaya ada ruang untuk aku tidur. Jujur saja aku masih mengantuk.

Aku tidur dengan posisi menyamping membelakangi Sarkara. Menarik selimut sampai ke dada. Terdengar dengkuran halus dari belakang. Pertanda Sarkara sudah masuk ke alam mimpi.

Baru saja aku menutup mata, tapi tingkah Sarkara membuatku enggan bernapas. Tangan dan kakinya membelit tubuhku. Serupa aku adalah bantal guling.

Aku merasa ini adalah posisi paling intim yang pernah kami lakukan. Tengkuk leherku menjadi wadah untuk keluar masuknya oksigen Sarkara melalui hidung bangirnya. Bulu kudukku merinding. Meraba-raba sensasi aneh yang tiba-tiba menyergap.

Menggeliat aku di dalam kungkungan itu. Tapi Sarkara semakin memperdalam pelukan. Bibirnya saja sudah mencapai tengkukku. Aku semakin tersiksa.

"Sarka. Genna enggak nyaman," lirihku berusaha menengok ke belakang. Hanya deheman yang aku dapatkan.

Aku masih terus berusaha. Berhasil ketika aku membalik posisi. Menghadap Sarkara yang sudah membuka mata. Menatapku dalam. Menghadirkan sensasi magis.

"Gue boleh cium lo?" Matanya beralih menatap bibirku. Setengah terbuka saking terkejutnya.

Aksi menelan salivaku mungkin terdengar. Aku berkedip beberapa kali. Berusaha menyadarkan diri.

"Di— di mana?" Bodoh. Kenapa juga aku bertanya demikian— seolah mengizinkan Sarkara menciumku— padahal sudah jelas jika Sarkara ingin menyesap bibirku.

"Di sini," jawabnya menekan pelan bibirku.

Kegugupan menerpaku. "Tapi Genna belum sikat gigi." Kebodohan kedua. Aku seperti dibuat terpaku dengan sosok Sarkara. Menolak keras, tapi enggan tersampaikan. Atau mungkin, aku juga penasaran dengan rasanya.

Sarkara tersenyum memabukkan. "Gue juga," timpalnya. Menunjukkan seolah dirinya tidak masalah dengan itu.

Aku memberanikan diri menatap Sarkara— sama dalamnya. Menghitung dalam hati berapa lama aku mampu membalas tatapan itu. Tepat menit ke tiga belas, Sarkara mengelus tengkukku. Menariknya maju hingga—

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang