Happy Reading
***
Detik ini aku dan Sarkara kembali berdebat karena terus menolak keinginannya. Aku tidak ingin menjadi tranding topic karena ulah tidak tahu malu laki-laki itu. Ingat bahwa sifat Sarkara dan aku bertolakbelakang.
"Enggak mau digendong. Genna malu," tolakku berusaha menyingkirkan tangan Sarkara menggapai punggungku.
"Nurut aja bisa enggak sih," kesalnya menyelipkan tangan di bawah lutut dan punggungku.
"Genna bisa sendiri Sarka," ucapku memelas dan berhasil membuatnya luluh. Terlihat jelas jika semuanya dituruti dengan terpaksa.
Susah payah aku melawan rasa sakit pada tulangku. Menguatkan diri bahwa aku bukan perempuan lemah yang seperti laki-laki itu lontarkan. Membuktikan kepada Sarkara jika kekasihnya— sebentar lagi menjadi mantan— adalah gadis mandiri yang tidak ingin membebani siapa pun.
"Keras kepala," cibirnya melangkah mundur.
Aku menggeleng pelan, berusaha untuk melawan rasa nyeri yang enggan mereda. Hampir saja aku terjatuh jika tidak berpegang pada sisi kiri brankar. Refleks Sarkara akan menangkap lenganku, tetapi dengan isyarat kepala aku menghentikan pergerakan laki-laki itu.
"Kalau enggak kuat, jangan sok kuat," celetuknya mengikuti langkahku dari kejauhan.
Aku berjalan tertatih menuju koridor. "Genna enggak lemah," sahutku setelah beberapa saat.
"Terserah lo boneka mampang."
Jika orang lain yang mengucapkan hinaan itu padaku, sudah dipastikan aku akan menangis dan membalas hal serupa. Beda lagi jika yang melakukannya Sarkara. Perkataan pedasnya sudah menjadi makanan yang harus aku telan paksa setiap hari.
Langkahku lambat menuju parkiran tempat mobil Sarkara terparkir. Dari arah depan aku mampu melihat rombongan siswi berlari menuju kantin, entah apa yang mereka perebutkan. Kehadiranku seolah dilupakan, hingga beberapa kali aku terkena senggolan mereka. Aku masih berusaha menahan diri untuk tidak terjatuh. Naas ketika yang menyenggolku barusan adalah siswi sedikit berisi. Hantaman dinginnya lantai koridor menyapu bokongku, lagi dan lagi. Liquid bening kembali meluruh akibat menyatunya perasaan malu dan rasa sakit.
Netraku menatap ke belakang, melihat Sarkara yang tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tetapi tatapannya menunjukkan jika Sarkara tengah mati-matian mengontrol emosinya. Satu yang pasti, aku termasuk biangnya.
Tangannya terulur di depan wajahku. Sebelum aku menggapainya, tangan itu sudah lebih dulu ditarik. Hingga aku hanya menggapai angin. "Enak?" ejeknya penuh kilatan amarah.
Aku menunduk penuh rasa bersalah. Niat hati ingin membuktikan kekuatan, justru berbalik membuatku semakin terlihat lemah. Tidak hanya di depan Sarkara, tetapi di depan seluruh siswi yang berombongan menuju kantin. Mereka berhenti menatapku penuh— entahlah aku tidak tahu arti tatapan itu. Seperti mencemooh dan iba bersamaan.
"Berdiri," titah Sarkara tanpa niatan membantu.
Untuk sekedar berdiri saja tenagaku terasa terkuras habis. "Tolong. Genna udah enggak kuat. Genna enggak mau jadi tontonan mereka," lirihku kembali menjatuhkan buliran bening.
Tanpa kata Sarkara menggendongku. Secepat kilat aku langsung merangkul lehernya. Menyandarkan kepalaku di bawah dagunya. Rasanya nyaman terlampau nyaman untuk dilepaskan.
Aku kira Sarkara akan berlalu setelah menggapaiku. Tetapi langkahnya berbalik. Menelisik rombongan siswi tadi dan mengucapkan perkataan keramat. Dari tempatku sekarang, mampu aku dengar degupan menggila Sarkara. Membayangkan semarah apa laki-laki itu sekarang membuatku bergidik ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Berkisah (On Going)
Teen FictionKata mereka, Gennadiya itu terlahir dari keberuntungan. Kehidupan Genna membuat sebagian orang iri. Mulai dari orang tua yang sportif, sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, serta pasangan hampir sempurna serupa Genna sudah memenangkan lotre. Tid...