GS12

98 3 0
                                    

Happy Reading

***

Suara berisik memasuki indra pendengaranku. Nada bicara orang itu terdengar tidak asing. Perlahan aku membuka mata dan mendapati Elia memohon kepada Sarkara. Tangannya bahkan sampai dibuat memohon.

"Biarin Arka masuk," pinta Elia penuh harap. "Om sama tante juga tadi udah izinin Arka masuk," sambung Elia.

"Lo bukannya udah putus sama Genna?" tanya Arka.

"In your dream."

Aku mendengus melihat Sarkara tidak akan melunak. Mode otoriternya kembali berkobar. Membatasi ruang gerakku adalah langkah awal yang akan laki-laki itu lakukan jika tidak aku lunakkan.

"Sarka ...," panggilku membuat Sarkara berbalik.

"Genna, tolongin gue. Masa Sarkara enggak izinin gue masuk. Padahal mama sama papa lo udah bolehin," keluh Elia menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Hanya kepala, karena Sarkara masih menahan pintu kayu itu.

"Genna mau ketemu Elia."

Sarkara berbalik menatap Elia. "Lo juga udah gue bolehin masuk daritadi," cecarnya.

"Gue maunya bareng Arka."

"Genna mau ketemu Elia sama Arka," sahutku.

"Enggak!"

"Arka juga teman Genna," bantahku.

"Berani lo sama gue?"

"Genna mohon," pintaku penuh harap. "Please, sekali ini aja." Aku menunjukkan puppy eyes.

"Masuk. Lo cukup duduk diam di sofa. Jangan dekatin cewek gue."

Setelahnya Sarkara membuka pintu membiarkan Elia masuk lebih dulu. Tubuhku terhuyung ke belakang karena pelukan tiba-tiba Elia.

"Maafin gue, Na. Gue enggak tau kalau ternyata lo dikunciin sama anak-anak," ucapnya penuh sesal.

Aku mengusap punggung Elia. "Genna enggak apa-apa kok."

"Gue sahabat yang buruk. Iya 'kan?"

"Jangan bilang gitu. Elia sahabat Genna satu-satunya."

"Sarka bilang gue sahabat yang buruk," lirihnya dengan isakan. Elia menangis karena perkataan pedas Sarkara.

"Elia enggak usah dengarin apa kata Sarkara. Elia tetap jadi sahabat terbaik Genna, selamanya." Aku mengeratkan pelukan kami.

Arah pandangku tidak sengaja menatap Sarkara. Mengerucutkan bibir untuk memperlihatkan perasaan kesalku.

Lama kami saling bercerita hingga aku tidak memedulikan kehadiran Sarkara. Semenjak tadi Elia tidak menyinggung tentang penyakitku. Mungkin saja Sarkara memilih menyembunyikannya. Aku bersyukur, laki-laki itu memahami kondisiku.

"Cepat sembuh, Na. Gue sama El tungguin lo di sekolah." Arka berujar sebelum pintu ditutup oleh Sarkara.

Setelah kepergian mereka berdua, kini hanya ada aku dan Sarkara di ruangan ini. Orang tuaku belum menunjukkan batang hidungnya sejak semalam. Sarkara tadi sempat mengatakan jika mereka memiliki urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Cukup tahu bila itu semua pasti berhubungan dengan menurunnya usaha papa.

"Makan dulu?"

"Genna masih kenyang."

"Sarka enggak sebarin penyakit Genna ke Elia?" tanyaku begitu Sarkara sudah duduk di kursi samping brankar.

"Penting?" ketusnya.

Aku tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Sarka," ucapku tulus.

Dibalik nada ketus itu tersimpan jutaan perhatiannya. Sarkara hanya tidak tahu mengekspresikan diri. Berujung ujaran menyakitkanlah yang lebih dulu terlontar. Jika orangnya bukan aku, bisa saja Sarkara masih sendiri hingga detik ini.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang