GS 1

165 8 0
                                    

Happy Reading

***

Aku menelisik kelopak mataku yang membengkak akibat menangis semalam. Sontak aku menutupinya dengan makeup tipis yang biasa aku gunakan. Kembali aku memperhatikan penampilanku. Setelah merasa sempurna, aku bergegas untuk sarapan bersama orang tuaku.

"Anak mama cantik banget," puji mamaku seperti hari-hari sebelumnya.

"Murni gen papa itu," balas papaku menyombongkan diri.

"Enak saja. Cantiknya Genna juga turun dari mama," sanggah mamaku pertanda tidak terima.

"Pa—" ucapan papa terpotong karena aku mengintrupsi keduanya untuk makan dengan tenang.

"Genna mau makan, enggak mau dengar Mama sama Papa ribut masalah enggak penting," tuturku sudah menyuapkan nasi goreng buatan mama.

Papa mengelus suraiku pertanda menyetujui ucapanku. "Mama kamu yang mulai, Na." Papa memeletkan lidah ke arah mama. Sementara mama sudah mengerucutkan bibirnya dengan mata menyipit diarahkan ke papa.

Aku memperhatikan keduanya dengan senyum terkulum. Hantaman kenyataan membuat hatiku berdenyut nyeri. Tidak siap jika kepergianku akan membuat kehangatan di rumah ini merosot tanpa menemukan setitik pelita penabur kebahagiaan.

"Jangan sampai Tuhan. Genna enggak mau itu terjadi," ucapku dalam hati.

Aku mendengar klakson motor Sarkara, sontak membuatku mempercepat kunyahan. Setelahnya aku berpamitan kepada orang tuaku.

"Genna pamit dulu Ma, Pa." Pamitku mencium pipi mereka bergantian.

"Hati-hati, Na. Ini ada bekal buat calon menantu mama." Aku mengambil kotak bekal yang mama sodorkan dan berlari menuju pintu utama.

"Suruh Sarkara bawa motornya hati-hati." Suara papa terdengar ketika aku hendak membuka pintu.

"Siap, Papa," balasku berteriak.

Dari kejauhan aku mampu melihat Sarkara tengah menyipitkan matanya menatapku. Wajah laki-laki itu tampak memerah karena diterpa silaunya baskara pagi.

"Kata Papa, Sarka jangan ngebut," ucapku ketika sampai di depannya, membuat si empu mendengus pelan.

Sarkara langsung mengambil kotak bekal yang aku pegang, "bekal gue 'kan?" Aku mengangguk.

Laki-laki itu menyodorkan helm, "pakai sendiri jangan manja."

"Sejak kapan juga Genna minta dipakein," gumamku berharap tidak didengar Sarkara.

"Lo ngomong apa?" tanyanya penasaran

"Genna enggak ngomong apa-apa. Ayo berangkat," ajakku tidak ingin memperpanjang percakapan.

Aku duduk di belakang motor vespa keluaran terbaru milik Sarkara. Sebenarnya laki-laki itu memiliki motor sport yang selalu dipakainya ke sekolah. Tapi karena sudah setahun belakangan Sarkara rutin menjemputku, jadilah laki-laki itu mengganti motornya. Saat aku tanya kenapa, Sarkara langsung berkacak pinggang dan tidak memberi jawaban apapun selain kalimat ketus yang selalu laki-laki itu layangkan.

Kurang lebih seperti ini, "Kenapa? Enggak suka?" Tidak lupa sorot matanya menatapku tajam, serupa dapat mengiris netraku hanya sekali kedipan.

Tetapi jika tidak salah ingat, mama pernah mengatakan jika Sarkara mengganti motornya karena tidak ingin pahaku terkespos. Terlebih laki-laki itu tidak tega melihat aku kesusahan menaiki motor yang tingginya mencapai bawah dadaku. Aku mengulum senyum membayangkan perhatian tersembunyinya.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang