GS 7

83 3 0
                                    

Happy Reading

***

Kisahku dan Sarkara mungkin tidak semanis pasangan remaja lain. Bosan rasanya aku mengatakan bahwa kebersamaan kami hanya diisi dengan adu mulut. Melihat hasil akhir siapa yang akan memenangi perdebatan, tentu saja Sarkara. Aku mengakui itu. Tetapi dari hal itu, membuat kami betah bersama.

Aku sudah memakai pakaian sederhana yang sekiranya nyaman untuk digunakan bergerak. Saat ini aku tengah bersiap-siap menuju café tempatku bekerja. Mengesampingkan rasa nyeri yang memintaku untuk sekedar mengistirahatkan tubuh. Berpikir, beberapa jam tadi aku sudah mengisi amunisiku di kasur empuk Sarkara.

"Genna mau ke mana?" tanya mamaku dari arah dapur.

"Mau ke café lagi, Ma. Genna pamit dulu."

"Sama Sarka?"

Aku sudah tidak menjawab pertanyaan mama karena langkahku semakin dipercepat. Menatap netra sayu wanita paruh baya itu membuat rasa bersalah kian menderaku. Tentu saja dengan sisa tenaga aku memutus kebohongan berikutnya yang akan tercipta ketika topik Sarkara diangkat.

Perjalananku kali ini hanya ditemani deru motor yang bersahut-sahutan dari jalan raya. Langkahku dipercepat menuju café tempatku bekerja. Sembari memikirkan cara tepat memberikan uang hasil kerjaku tanpa membuat orang tuaku berkecil hati. Apalagi sampai mengetahui aku bekerja sebagai pelayan.

"Atau Genna langsung ke bagian administrasi sekolah aja, ya?" monologku seolah mendapat ide.

Senyumku merekah membenarkan ide barusan. Mempercepat langkah sebelum memasuki area café. Hal yang aku lakukan adalah menatap sekeliling sembari tersenyum hangat ke pengunjung. Bergegas aku memakai celemek dan menguncir satu rambutku. Menuju lorong dapur guna menunggu pesanan pengunjung selesai dimasak.

"Genna," panggil salah satu koki laki-laki.

Aku mengambil pesanan pengunjung di atas meja yang barusan diletakkan koki itu. "Iya, Kak," balasku.

Pelayan. Satu kata yang tidak pernah terbesit dipikiranku. Sungguh mudahnya semesta membalik kehidupanku. Memejamkan mata beberapa saat sembari berdoa. Penuh harap aku meminta jika penyakitku menjadi pertanda kehidupanku akan berakhir. Tolong untuk membuat Sarkara menghilangkan perasaannya untukku walau hanya setitik. Aku mengikhlaskan diri melepas laki-laki itu untuk bersama perempuan yang mampu menemaninya hingga akhir. Tentu aku tidak menjadi jawaban.

Tik.

Terdengar tetesan air mataku menyentuh dinginnya lantai di tengah kebisingan yang pengunjung ciptakan. Aku seolah memiliki duniaku sendiri ketika fokusku kembali berpusat pada Sarkara. Banyaknya pengunjung tidak mampu mengalihkan pikiranku ketika Sarkara mendominasi hati dan pikiranku.

"Genna, makanan meja merak sudah jadi." Kembali namaku dipanggil untuk mengantar pesanan ke meja berlabel merak.

Salah satu keunikan di café ini adalah label setiap meja ditandai dengan nama binatang. Apalagi desain interiornya membuat siapa saja akan betah berdiam diri. Aku saja yang baru bekerja dua hari, dibuat terlena dengan semua yang ditawarkan. Terkhususnya gaji yang aku dapatkan di hari pertama bekerja.

Warna jingga kekuningan berganti gemerlap asterik yang belum seberapa banyaknya. Beberapa menit aku terpaku menikmati waktu dengan embusan angin malam yang menyejukkan lapisan epidermisku.

Saat ini aku dan 4 pelayan lainnya diberikan waktu istirahat 10 menit setiap dua jam bekerja. Kata manajer semua itu dilakukan untuk mengembalikan energi pegawai yang terkuras selama mengantar pesanan.

Jam istirahat sekarang aku habiskan menatap pantulan asterik dari genangan air. Beberapa teman seusiaku yang memiliki nasib tidak seberuntung aku— sebelum penyakitku menghujam— sedang asyik bercanda ria. Tadi mereka mengajakku untuk ikut bergabung, dengan sopan aku menolaknya. Pikirku karena ingin membatasi interaksi dengan orang baru, sehingga ketika penyakitku semakin luas menguasai aku tidak perlu membuat mereka menatapku iba. Itu lebih memilukan daripada diasingkan.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang