GS29

53 1 0
                                    

Happy Reading

***

Percaya atau tidak semenjak hari itu— dimana aku menyampaikan keluh-kesahku— Sarkara berubah menjadi pasangan dengan tutur kata terbaik, sepanjang aku menjalin kasih dengannya.

Seperti sekarang Sarkara tengah menemaniku mengambil surat izin. Sarkara sudah mengurusnya jauh-jauh hari. Aku hanya butuh mengambilnya di bagian tata usaha.

Tanganku membuka surat itu. Membaca isinya, "Sarka, di sini tertulis izin Genna sebulan? Terlalu lama enggak sih."

"Itu sesuai."

"Berarti Sarka juga izinnya sebulan, sama kayak Genna?"

Jika dulu Sarkara akan menjawab ketus dan menohok, maka yang terdengar hanya, "iya, sama kayak lo. Gue juga sebulan di sana." Tidak lupa aku dihadiahi senyuman edisi terbatas itu.

"Genna senang."

Kami berjalan bersisian. Sesekali Sarkara akan membawaku mendekat jika jarak kami sedikit menjauh. "Gue juga," timpalnya.

"Kenapa?" tanyaku menatapnya.

"Karena lo senang," jawabnya.

"Memangnya Sarka tahu Genna senang karena apa?"

"Apapun itu. Asal lo senang."

Aku tersenyum salah tingkah. Semburat merah pasti menghiasi kedua pipiku. Jantungku memompa dengan cepat. Rasanya aku tidak sanggup dijatuhi perlakuan manis Sarkara. Ditakutkan aku serangan jantung dan mati mengenaskan. Tidak lucu jika itu benar terjadi.

"Kalau Genna sama Sarka cutinya sebulan, berarti mama sama papa juga dong."

Saat ini kami sedang berada di kantin lantai dua. Baru sebulan kantin ini diresmikan. Siswanya tidak seramai kantin pusat— berada di lantai satu. Sarkara memesan makanan lewat aplikasi— dibuat khusus untuk SMA Jagapati. Rancangan baru— beberapa waktu lalu Sarkara ceritakan— kakek Sarkara berhasil. Sudah seminggu aplikasi itu dirilis untuk murid Jagapati.

"Kalau papa kayaknya enggak deh. Soalnya bisnisnya udah mulai stabil, " ujarnya. Padahal aku yang anak kandung, tapi Sarkara yang lebih tahu kehidupan orang tuaku.

"Terus kalau papa balik, mama juga pasti ikut." Aku menyantap makanan. Tadi Sarkara membukakan bekalku. "Papa 'kan enggak bisa pisah sama mama," sambungku.

"Enggak masalah. Di sana ada gue yang bakal penuhin kebutuhan lo."

"Ish, tapi Sarka masih pacar Genna. Belum punya hak buat penuhin kebutuhan Genna." Aku menelan makanan. "Sarka juga seumuran sama Genna. Mana bisa urus ini itu. Kita butuh orang besar di sana."

"Cerewet." Sesekali Sarkara kembali pada kebiasaannya, berkata singkat dan ketus.

"Genna benar 'kan."

Sarkara memakan potongan asparagus dan rebusan kacang polong— terhidang di piringnya. Menatapku sesaat, "di sana ada bokap gue."

Aku cegukan. Menyadari jika aku telah melupakan eksistensi orang tua tunggal Sarkara. Dapat aku tebak perawakannya tidak jauh berbeda dari kakek Sarkara. Sanggupkah aku berada dalam lingkaran tiga generasi itu? Tiba-tiba gelisah merundungku.

Berhubungan dengan Sarkara membuatku harus masuk ke dalam kehidupannya. Sama halnya Sarkara yang sejak awal menjalin hubungan sudah melakukan pendekatan dengan orang tuaku. Rasanya tulang kakiku berubah wujud menjadi plastisin. Tidak cair, tidak juga padat.

"Bukannya di Maroko?" tanyaku setelah minum— menunduk— untuk menghilangkan cegukan. Aku pernah melihat pada salah satu tayangan. Jika minum sambil menunduk dapat menghilangkan cegukan.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang