GS18

80 4 0
                                    

Happy Reading

***

Setelah membaca pesan dari seseorang yang telah beberapa tahun mengisi hatiku. Raut wajahku berubah murung. Sudah tiga hari aku tidak melihat Sarkara.

Lelaki jangkung itu beralasan jika memiliki agenda yang tidak bisa ditinggalkannya, sampai harus merelakan pertemuan kami. Entah urusan genting apa yang membuat waktu Sarkara tergerus. Satu yang pasti hatiku bergejolak tidak ikhlas.

Penurunan intensitas pertemuanku dan Sarkara tentu menghambat aktivitasku. Seperti sekarang, setelah memasukkan buku ke dalam tas, aku tidak langsung mendatangi meja makan.

Tanganku sibuk menggulirkan isi pesan dengan Sarkara. Membaca pesan singkat yang Sarkara kirimkan. Tidak ada yang berbeda ketika dirinya berbicara langsung. Singkat, padat, dan membuat sakit hati.

Isi pesan terakhirnya— Enggak usah drama Gennadiya!!! —tidak tanggung-tanggung aku dihadiahi tiga tanda seru.

Ponselku berdering tanpa henti. Semenjak aku berada dalam grup— diberi nama Teya Home Alone— notifikasi ponselku selalu ramai. Pembahasan ringan hingga berat semua mereka tuangkan. Seolah grup itu adalah tempat cerita paling afdal. Tidak akan diketahui hingga semua anggotanya tutup usia.

"Genna..., kamu belum bangun?!"

Suara mama terdengar dari luar pintu. Aku tersentak. Mengelus dada untuk meredam keterkejutan.

"Udah Mama," sahutku dari dalam.

Mama masih berdiri hingga aku membuka pintu. Terlihat wajahnya masih cantik. Seolah usia tidak memudarkan kecantikan itu. Pantas saja papa— yang beberapa tahun lebih tua dari mama— masih terus memuji rupa istrinya.

"Hari ini kamu berangkatnya sama papa lagi, ya. Sarka bilang dia masih ada urusan yang harus diselesaikan secepatnya," jelas mama. Tangannya setia mengelus punggungku.

"Sarka punya urusan apa sih, Ma?" tanyaku penasaran.

Beberapa detik aku tidak mendapat jawaban. Helaan napas terdengar dari bibir mama. Setelahnya gelengan pelan mama berikan.

"Mama juga enggak tahu, Na."

"Genna sayang Sarka."

Mama tertawa pelan mendengar ungkapan perasaanku yang tiba-tiba. Telunjuknya bahkan beberapa kali mencolek daguku. Menghadirkan rasa haru hingga raut wajahku berubah senang. Melupakan isi pesan Sarkara beberapa saat lalu.

***

Semua terasa menjengkelkan. Bagaimana tidak, jika Elia— teman sebangku yang merangkap sebagai sahabatku juga tidak datang ke sekolah. Beralasan jika suhu badannya naik signifikan. Berakibat pada dirinya yang langsung dibawa ke rumah sakit— malam tadi.

Aku tidak tahu pasti sakit Elia didapat darimana. Hanya tahu jika kemarin sore Elia menjadi penguntit. Mengendap-ngendap melihat Arka latihan takraw. Perjuangan sahabatku itu patut diacungi jempol. Elia akan melakukan perjuangan— hampir tidak masuk akal— untuk menggait targetnya.

Orang tua Elia tentu tahu. Tapi nilai plusnya mereka tidak membatasi, selagi dalam batasan wajar.

Setiap kegiatan akan dilaporkan kepada orang tuanya oleh sopir pribadi Elia. Aku cukup maklum karena Elia merupakan cucu dari salah satu konglomerat. Jangan lupakan darah biru yang melekat dalam tubuhnya. Kata pertama namanya— selalu disembunyikan ataupun disingkat— saja sudah melambangkan jika Elia keturunan bangsawan Jawa.

Dua pelajaran aku lewati sendiri. Beberapa kali tanganku menorehkan tinta hitam pada lembaran kertas di halaman selanjutnya. Pelajaran terakhir diampu oleh— Miss Nindy— guru kewirausahaan. Kelasku mendapat tugas untuk mewawancarai pengusaha yang merintis usahanya dari bawah. Tidak masalah karena papa, bisa menjadi informanku.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang