GS25

57 2 0
                                    

Happy Reading

***

Malam ini Sarkara telah berpamitan dengan orang tuaku— katanya mengajakku untuk ke toko buku, mencari beberapa referensi untuk mengerjakan tugasnya.

Awalnya aku menyipitkan mata, tidak percaya dengan alasannya. Tetapi ketika Sarkara membisikkan sesuatu— membuatku tersenyum merekah— aku sontak menyetujui ajakannya.

"Jadi kapan Sarka ajak Genna nonton?" tanyaku ketika melewati eskalator.

Sarkara menengok ke kanan, "kalau urusan gue udah kelar." Jemarinya kembali memenuhi sela jariku. Seolah takut jika aku akan berbelok. Naik ke eskalator berikutnya.

"Sarka enggak akan bohongin Genna 'kan?" tanyaku menatap wajahnya lamat-lamat.

"Memang pernah gue bohongin lo?" Aku diam dengan bibir terkatup.

Daripada memilih opsi menggeleng pelan sembari menepuk pelan suraiku, Sarkara justru berlaku sebaliknya. Terlebih, sejak kapan juga Sarkara menjadi laki-laki penuh kehangatan seperti— tidak jauh dari tempatku berdiri sepasang muda-mudi persis seperti dalam bayanganku.

"Tuhan ..., Genna juga mau kayak gitu," iriku dalam hati.

"Genna," panggilnya membuatku tersadar. "Ngapain lo pelototin orang kayak gitu. Enggak sopan."

Aku menggembungkan pipi kesal. Untung saja kami berdiri pada rak kategori bisnis, sehingga tidak ada orang lain yang akan mendengar ucapannya— pedas dan menusuk. Padahal kelopak mataku tidak membesar, hanya memperhatikan secara seksama. Sarkara berhiperbola.

"Sarka lihat deh." Aku menunjuk— pada rak kategori novel remaja— ke arah pasangan itu, "cowoknya sweet banget. Enggak kayak Sarka," cibirku kemudian.

Daripada menimpali sindiranku, Sarkara memberiku satu buku tebal. Tertulis "Power" dengan tinta emas pada sampulnya. Berwarna hitam legam dengan desain elegan.

"Buat apa?" tanyaku dengan kening bertaut.

"Baca. Lebih bermanfaat daripada lo sibuk bandingin cowok lo sama cowok orang."

Dibanding kesal, bibirku justru tertarik ke atas. "Iya. Sarka memang cowok Genna," timpalku pelan.

"Baca Genna."

"Memang boleh, ya? Setahu Genna bungkusnya enggak boleh dirobek," bingungku meminta pendapatnya.

"Robek aja. Nanti gue bayar."

Aku mendengkus. "Sombong," cibirku.

"Gue suruh lo baca, bukan cari perkara."

Setelahnya aku membaca halaman pertama. Beberapa istilah tidak aku mengerti ketika sampai pada paragraf kedua. Terdapat dua kata asing— tidak pernah aku dengar.

Telunjukku menusuk-nusuk lengan Sarkara, membuat si Empu berbalik. Raut wajahnya menunjukkan tanya.

"Sarka, maksudnya merger sama akuisisi apa, ya?"

"Tumben mau tahu," timpalnya tidak menjawab pertanyaanku sama sekali.

Sarkara kembali menyisir rak selanjutnya— masih tentang bisnis. Sementara aku setia mengikuti Sarkara dari belakang.

"Pelit ilmu."

Sarkara berbalik, "sebentar gue jelasin sejelas-jelasnya. Sekarang gue mau cari satu buku lagi. Cukup ikutin gue dan jangan berisik. Ngerti?"

Entah mengapa aku hanya mengangguk. Kembali megikuti Sarkara. Memegang ujung kaosnya— berwana hitam dengan bordiran berwarna abu rokok tertulis namanya, terletak di ujung baju itu. Aku baru menyadarinya.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang