GS 4

93 5 0
                                    

Happy Reading

***

"Nanti malam gue enggak jadi ke rumah. Kerjaan gue banyak," ucapnya mengambil helm dari tanganku.

Berbicara soal helm, Sarkara tidak ingin memberikan helm itu untukku. Saat aku tanya kenapa, katanya ditakutkan aku akan memakai helm itu bersama cowok lain. Sungguh pemikiran yang tidak masuk akal.

"Enggak apa-apa. Genna juga bosan lihat Sarka terus," balasku mendapat tatapan menusuknya. Aku menahan tawa.

"Siapa yang ajarin lo ngomong gitu?" tanyanya sengit.

"Genna bercanda," timpalku lagi membuat Sarkara mendengus pelan.

"Kalau ada PR kabarin gue aja," jedanya mengusap suraiku. "Gue pamit dulu." Sarkara menghidupkan motor vespa keluaran terbaru miliknya.

"Hati-hati Sarka," teriakku saat Sarkara masih terlihat.

Aku bersenandung menuju rumah. Senang karena nyeri yang biasa aku rasakan tidak kunjung datang. Berharap semoga rasa sakit itu tidak sampai membuatku tersiksa.

Netraku menatap garasi yang terbuka. Mobil milik papa sudah terparkir rapi. Tidak biasanya papaku pulang bekerja saat hari masih cerah. Sontak aku bergegas menemui papa yang terlihat berbicara dengan mama di ruang tamu.

Kerutan di dahi papaku tampak terlihat. Sepertinya pembahasan kali ini cukup serius. Hampir saja aku mengagetkan mereka, tatkala mendengar percakapan dua orang dewasa itu.

"Papa enggak tahu lagi harus cari pinjaman dana di mana, Ma." Terdengar nada putus aja dari perkataan papa.

"Terus bagaimana Pa? Uang tabungan kita juga semakin menipis." Helaan napas mama terdengar. "Belum lagi uang sekolah Genna juga sudah menunggak."

Aku membekap mulutku tidak percaya. Merasa disambar petir di siang bolong. Tandanya orang tuaku hampir bangkrut? Tapi bagaimana mungkin? Bukankah usaha bengkel— sudah memiliki banyak cabang di 5 pulau Indonesia— yang selama ini papa jadikan pundi-pundi meraih rupiah sukses tanpa hambatan? Otakku bermonolog, mencari celah untuk menyelaraskan kepingan kejadian dengan yang aku dengar barusan.

Asumsiku semakin kuat ketika beberapa hari belakangan, papaku memang sering pulang terlambat. Dan tepat hari ini, papa membawa kabar buruk dengan kedatangannya yang cepat dari hari biasanya. Semakin sadar jika harapanku kian pupus untuk memberitahukan penyakit yang aku derita kepada orang tuaku. Tidak mungkin aku membebani mereka ketika keadaan finansial sedang diambang batas kehancuran.

Sungguh aku tidak tahu mengapa bisnis keluargaku akan mencapai lubang galian terakhir dari kesuksesan. Padahal cukup banyak aku tahu bisnis bengkel papa sudah terkenal di berbagai kalangan.

"Doakan papa, Ma. Semoga papa dapat suntikan dana dari Pak Danadyaksa. Paling tidak untuk melunasi uang sekolah Genna." Nada frustasi itu tidak pernah sekali pun aku bayangkan akan keluar dari bibir papa.

"Pasti, Pa. Lebih baik sekarang Papa mandi dulu," jedanya sebentar, "takutnya Genna pulang terus dengar obrolan kita."

"Terlambat Ma. Genna udah dengar semuanya," batinku meringis.

Rasa sesak kembali menempati rongga hatiku. Aku menangis, menelisik jauh pada bayangan kelabu yang menghantui isi pikiranku. Semesta seolah kian memupuskan harapanku untuk sembuh. Terjangan demi terjangan kian membawaku pada dalamnya nestapa.

Baru sebentar rasanya aku menikmati waktu bersama mereka—orang yang aku sayangi. Tapi sekarang, di kamar pribadiku, kembali aku menangis karena tidak mampu menanggung beban ini sendirian. Aku butuh penopang, tapi takdir tidak mengizinkanku melakukan itu.

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang