GS15

61 2 0
                                    

Happy Reading

***

Pagi ini aku baru terbangun ketika pintu kamarku diketuk tidak beraturan. Sesekali terdengar suara mama dari balik pintu. Setelah mendapatkan kesadaran secara penuh, aku melirik jam dinding. Sontak aku berlari menuju kamar mandi setelah membalas panggilan mama.

Aku segera memakai seragam setelah melakukan ritual mandi secepat kilat. Tidak lupa aku memakai skincare rutin dan sedikit memoles wajahku dengan beberapa merek makeup.

Barang perempuan itu aku dapatkan ketika menginjak usia 15 tahun. Mama membelikannya untuk aku merawat kulit. Semakin bertambah ketika Elia sering merekomendasikan aku untuk memiliki merek makeup yang sama dengannya.

Hidup di tengah dua perempuan yang mengutamakan penampilan tentu membuatku mengikuti pola mereka. Bisa dikatakan selera mamaku dan Elia sama untuk hal berbau perempuan. Kadang kala Elia meminta saran mama jika kesulitan memilih produk yang ingin digunakannya.

Saat ini aku tengah memasukkan buku pelajaran yang akan diajarkan hari ini. Tidak semuanya, karena sebagian lagi masih ada di tas Sarkara. Diambilnya setiap kami diperjalanan pulang. Sesuai janjinya, Sarkara yang mengerjakan tugas sekolahku. Tidak membiarkan aku memberatkan pikiran. Ditakutkan jika tangisku kembali dilihatnya.

Sampai saat ini memang tidak ada yang tahu jika tangisku yang beberapa pekan lalu adalah bentuk dari rahasia yang aku sembunyikan. Aku juga tidak akan membiarkan siapa pun mengetahui rahasia itu. Cukup aku dan semesta yang mengetahuinya.

Bergegas aku menuju ruang makan sebelum mama kembali mengetuk pintuku. Di meja makan sudah terlihat Sarka dan mama yang tengah menikmati sarapan mereka. Tidak perlu menanyakan di mana keberadaan papa, karena aku yakin jika pria paruh baya itu sudah pergi beberapa saat lalu.

"Lama banget," cibir Sarkara begitu aku menggeser kursi di sampingnya.

Pura-pura aku tidak mendengar cibiran itu. Memilih menikmati sarapanku dengan khidmat. Kali ini mama memasak menu berbeda, tentu sesuai anjuran dokter yang mengobatiku.

"Dikunyah Genna," tegur Sarkara.

"Jangan ajak Genna ngomong," sahutku.

Sarkara mendengus tak urung mengacak rambutku. Karena kesal aku menepis tangannya dan melanjutkan makanku. Melalui ekor mataku, mama melihat kami penuh haru. Mungkin perasaan senang melingkupi mama karena kembali melihatku bersama Sarkara.

"Ayo," ajakku mengambil kotak bekal yang sudah mama siapkan.

Sarkara berjalan lebih dulu mendahuluiku. Langkahnya yang lebar membuat aku ketinggalan. Segera aku meraih belakang bajunya untuk menyamakan langkah kami.

"Apa sih," decaknya.

"Pelan-pelan Sarka. Genna ketinggalan," kesalku.

Tanpa kata Sarkara meraih tanganku untuk digandengnya. Jarak singkat antara teras rumah hingga ke gerbang terasa jauh karena hatiku menghangat.

"Terima kasih," ucapku ketika Sarkara membuka pintu samping kemudi.

Seperempat jalan sudah kami lalui untuk sampai ke sekolah. Selama perjalanan hanya suara instrumen yang menemani kebersamaan kami. Tiba-tiba saja aku mengingat percakapan terakhirku dengan Sarkara.

Wajah itu tidak menunjukkan gelagat mencurigakan, seperti salah tingkah misalnya. Padahal semalam aku memanggilnya dengan panggilan sayang. Berharap banyak jika Sarkara akan membahas hal itu, atau paling tidak memanggilku dengan panggilan serupa.

"Kenapa lagi lo?" tanyanya tanpa usaha menengok.

"Enggak," jawabku sembari menggeleng.

Sarkara sepertinya tahu kegusaranku. "Bilang."

Semesta Berkisah (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang