Setelah penjelasan singkat dari Andromeda tentang kedua orang tua Kayra, gadis itu duduk termenung di dekat jendela kamarnya. Memandang ribuan bintang yang bertaburan di langit malam itu. Isi kepalanya berisik sekali walau keadaan di sekitarnya begitu sunyi. Pertanyaan demi pertanyaan menghiasi kepalanya saat ini.
Kenapa dia di titipkan pada bibinya? Kenapa ibunya tidak meninggalkan surat apapun untuk dirinya? Dan, kenapa dia tidak memakai nama belakang ayahnya?
Semua pertanyaan itu hinggap di kepalanya sekaligus. Datang tanpa di minta, tapi Kayra juga tidak berniat mengusirnya. Karena memang itu yang ingin dia pikirkan sekarang. Tentang mengapa dia lahir ke dunia ini kalau berujung di titipkan pada orang lain, dalam kasus ini, pada bibinya.
Kayra bertanya-tanya, apa mungkin sejak awal, kehadirannya tidak pernah di harapkan. Makanya ibunya memilih menitipkan pada Andromeda dari pada merawatnya sendiri. Memikirkan itu membuat dada Kayra mendadak sesak, seakan oksigen di sekitarnya menipis.
Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi, tapi sebisa mungkin, dia menahan dirinya untuk tidak menangis. Kayra tidak ingin menangis, dia tidak boleh lemah. Toh, selama ini dia sanggup hidup seorang diri tanpa tahu siapa orang tuanya. Jadi kenapa dia harus lemah sekarang?
Tapi sekuat apapun Kayra menahan dirinya untuk tidak menangis, air matanya tetap jatuh juga pada akhirnya. Mengalir perlahan, membasahi pipinya kemudian berhenti di dagu. Kayra tidak tahu kenapa ini rasanya begitu sesak. Tapi begitulah yang dia rasakan sekarang.
Kayra memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya di balik lengan. Perlahan, dia terisak kecil dalam tangisnya, bahunya bergetar. Sebisa mungkin tidak mengundang perhatian dari paman dan bibinya, ataupun Draco.
Tapi kenyataannya, Draco melihat semuanya. Dia sudah berdiri di balik pintu yang tidak tertutup rapat sejak beberapa menit yang lalu, mengawasi Kayra dari jauh. Walau Kayra bukan orang yang penting dalam hidupnya, tapi melihat itu membuat dirinya ikut merasa sesak.
Lalu entah dorongan dari mana, Draco tiba-tiba melangkah masuk ke dalam kamar Kayra. Berjalan begitu pelan sampai tiba di sisi gadis itu. Dan tampaknya, Kayra tidak menyadari kehadiran Draco sama sekali.
"Kau ternyata cengeng juga," kata Draco setelah duduk bersampingan dengan Kayra. Ikut memandang keluar jendela yang masih terbuka lebar, membuat angin malam masuk ke dalam kamar.
Mendengar suara Draco, Kayra lantas mengangkat wajahnya dengan cepat. Menghapus jejak-jejak air matanya, kemudian menoleh pada Draco.
"Siapa yang cengeng?"
Draco menyeringai, "jangan mengelak, aku melihatnya."
"Aku menangis bukan berarti aku cengeng! Kau saja yang tidak punya hati, kau tidak pernah menangis, kan?"
Draco terdiam. Bohong kalau dia bilang dia tidak pernah memangis. Karena dia pernah menangis begitu hebat ketika keadaan yang terjadi padanya begitu sulit. Tahun lalu, saat dia merasa bahwa tugas dari Voldemort begitu berat untuk dia laksanakan, Draco memangis di salah satu toilet Hogwarts. Bercerita pada hantu penunggu toilet itu, Myrtle Merana.
Dia mungkin di sebut sebagai orang yang tidak berperasaan, tapi dia juga hanya manusia biasa. Dia tahu bagaimana kesedihan dan rada sakit itu bekerja.
"Aku juga hanya manusia biasa kalau kau lupa," kata Draco memelan. Tidak berniat mengeluarkan kekesalannya karena perkataan Kayra barusan.
"Jadi kau mengakui bahwa kau pernah menangis?" Kayra mendadak bersemangat, menatap Draco dengan tatapan mengejek.
"Kenapa memangnya? Kau ingin mengejekku?" tanya Draco menatap Kayra sekilas.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐚𝐢𝐦𝐥𝐞𝐬𝐬 || Draco Malfoy
FanfictionHanya cerita singkat tentang Kayra Avereen dengan semua kesulitan yang dia hadapi di tengah tugas yang di berikan oleh salah satu profesornya di sekolah, Severus Snape. "𝘿𝙤𝙣'𝙩 𝙡𝙤𝙫𝙚 𝙢𝙚, 𝘿𝙧𝙖𝙘𝙤. 𝙔𝙤𝙪'𝙡𝙡 𝙤𝙣𝙡𝙮 𝙜𝙚𝙩 𝙝𝙪𝙧𝙩." . ...