Kayra menatap pantulan dirinya pada cermin, pakaian serba hitam sudah membalut tubuhnya. Walau wajahnya terlihat masih amat berantakan, namun perasaannya perlahan membaik. Lagi pula, tidak ada yang bisa dia lakukan atas semua kejadian yang telah terjadi. Walau dia terus-terusan menyalahkan dirinya, orang-orang yang pergi tidak akan pernah kembali lagi.
Keadaan memang sulit bagi Kayra. Setelah kehilangan ibu dan ayahnya, dia juga harus kehilangan bibi dan pamannya yang sudah merawatnya sejak kecil. Saat kembali ke rumah mereka beberapa hari yang lalu, yang Kayra dapatkan hanya tubuh kaku dua orang yang paling berharga dalam hidupnya.
Mungkin takdir yang dia punya terlalu kejam sampai-sampai dia harus kehilangan semua yang dia miliki. Saat itu, entah untuk keberapa kalinya, Kayra bersimpuh pada lututnya dan menangis begitu hebat. Dia bahkan tidak sempat melayangkan pertanyaan "siapa yang melakukannya?" di dalam kepalanya sendiri. Karena dia tahu dengan jelas siapa pelaku di balik pembunuhan itu.
Dia menatap dua wajah pucat itu dengan rasa sakit yang membuncah. Kayra tidak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat selama hidupnya, sampai-sampai dia harus mengalami kejadian setragis ini. Ingin rasanya dia menyusul mereka, tapi jiwanya sudah mati lebih dulu.
Keputusan untuk menyusul juga pasti hanya akan membuat bibi dan pamannya bersedih. Jadi setelah segala pertimbangan, Kayra memutuskan untuk tetap hidup walau dalam penderitaan yang begitu banyak.
Dalam satu minggu, hidup yang awalnya menyenangkan berakhir penuh pilu.
"Kayra?"
Gadis itu menoleh ke arah pintu, mendapati Narcissa sudah berdiri di sana dengan pakaian yang serba hitam juga. Lantas, Kayra tersenyum. Setidaknya, walau dia kehilangan segalanya. Ada satu orang yang masih menjadi alasannya untuk hidup.
Ada janji yang harus dia tepati pada Draco. Janji untuk menjaga dan menyayangi Narcissa sebagai ibunya sendiri.
"Kau sudah siap?" tanya Narcissa dengan nada yang begitu lembut. Kayra jadi ingat bagaimana ucapan lembut milik Andromeda yang selalu dia dengar sejak kecil.
Menjawab pertanyaan itu, Kayra mengangguk kecil. Kemudian menghampiri bibinya di ambang pintu. Kayra merangkul lengan wanita itu dan berjalan beriringan dengannya sampai tiba di depan manor. Kemudian dengan secepat kilat, mereka menghilang dari sana.
Sesaat kemudian, mereka telah tiba di sebuah tanah milik leluhur yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi mereka yang meninggalkan. Semuanya ada di sana, termasuk Andromeda dan Tonks. Narcissa yang memintanya. Katanya, agar Kayra bisa mengunjungi mereka kapan pun yang gadis itu inginkan.
Kayra menatap satu per satu makam yang masih basah. Baru sekitar sepuluh hari makam ini di buat. Luka yang di timbulkan juga masih basah salam hati masing-masing. Namun sekuat tenaga, mereka berdua menyembuhkan luka itu bersama-sama.
Sejak datang ke tempat ini, tatapan Kayra langsung tertuju pada makam Draco. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika menatap batu bertuliskan Draco Malfoy itu. Seperti perasaan yang muncul secara tiba-tiba dan terlambat.
Dengan langkah yang begitu pelan, Kayra berjalan mendekati makam Draco. Kemudian berjongkok di samping makam itu tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dadanya memang sesak, tapi air matanya tidak lagi jatuh membasahi pipi.
Dia sudah terlalu lelah untuk menangis, tidak lagi memiliki tenaga untuk sekedar meneteskan satu bulir air mata. Jadi dalam kesempatannya itu, Kayra hanya memilih menatap makam milik Draco.
Satu per satu kenangan tentang mereka lantas terlintas di kepalanya begitu saja. Suara bariton milik Draco tiba-tiba terdengar di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐚𝐢𝐦𝐥𝐞𝐬𝐬 || Draco Malfoy
FanfictionHanya cerita singkat tentang Kayra Avereen dengan semua kesulitan yang dia hadapi di tengah tugas yang di berikan oleh salah satu profesornya di sekolah, Severus Snape. "𝘿𝙤𝙣'𝙩 𝙡𝙤𝙫𝙚 𝙢𝙚, 𝘿𝙧𝙖𝙘𝙤. 𝙔𝙤𝙪'𝙡𝙡 𝙤𝙣𝙡𝙮 𝙜𝙚𝙩 𝙝𝙪𝙧𝙩." . ...