Semua kejadian hari ini rasanya terjadi terlalu cepat, sampai-sampai Kayra bahkan tidak mampu mencernanya. Hari ini, dia seperti tidak di izinkan untuk bernapas lega walau hanya sebentar saja. Berkali-kali dia menahan sesak dan sakit di tubuh dan hatinya. Berkali-kali dia merasa dirinya amat begitu bodoh dan ceroboh. Berkali-kali juga dia merasa ragu, harus membenci ibunya atau tidak.
Namun perasaan abu-abu itu menjadi sangat jelas ketika Kayra melihat ibunya berubah menjadi debu. Bahkan dari jarak sejauh itu, dapat Kayra lihat pergerakan butir-butir berukuran amat kecil itu di udara. Dan air matanya jatuh satu per satu tanpa dia minta.
Ada rasa amat perih yang tidak bisa dia jelaskan tepat mengenai inti perasaannya. Perasaan kehilangan yang rasanya sulit untuk dia akui. Rasa sakit seorang anak yang kehilangan ibunya.
Dia belum sempat memanggil Bellatrix dengan sebutan ibu. Bahkan belum sempat mengatakan pada wanita itu bahwa dia adalah darah dagingnya. Anak yang dia lahirkan sendiri dari rahimnya.
Hari ini, dia dan Draco sama-sama kehilangan sati orang tua mereka. Mereka berbagi perasaan yang sama, walau rasanya hanya Kayra yang terlihat amat terpukul. Gadis itu tidak berhenti mengeluarkan air matanya dalam keheningan. Tidak ada teriakan melengking seperti yang Narcissa lakukan, tidak ada juga kemarahan seperti yang Draco tunjukkan.
Kayra hanya membisu di tempatnya.
Biasanya kalau dalam keadaan seperti ini, momen-momen menyenangkan bersama orang yang meninggalkan terlintas di pikiran. Hanya saja, apa yang Kayra punya bersama ibunya? Apa yang harus Kayra kenang untuk mengingat Bellatrix? Pertempuran tongkat tiada henti yang terjadi hari ini? Mustahil.
Kayra tidak ingin mengingat momen menyakitkan yang terjadi hari ini, ketika dia melawan ibunya sendiri. Dia tidak ingin mengingat ibunya sebagai sosok yang jahat dan bengis. Walau kenyataannya memang begitu, Kayra hanya tidak ingin.
Walau air matanya begitu deras membasahi pipi dan kakinya seakan tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya, Kayra tetap berusaha untuk berdiri tegak. Namun itu tidak berlangsung lama, karena ketika tatapannya beradu dengan Draco, tubuhnya langsung ambruk.
Jelas sekali terlihat di matanya bagaimana Draco berlari dengan panik ke arahnya, menanyakan apakah dia baik-baik saja, dan memeluk tubuhnya. Namun Kayra belum sanggup untuk menjawab. Dia tidak marah, tapi kejadian hari ini terlalu mengguncang baginya.
"Kayra!" suara itu mendadak terdengar di telinga Kayra. Ketika dia menoleh, gadis itu mendapati Narcissa ada di sampingnya. Wanita itu tidak lagi memeluk tubuh kaku milik suaminya, tapi malah mengelus punggung Kayra.
Mata Narcissa sembab, wajahnya terlihat amat berantakan. Namun dia tetap berusaha sebisa mungkin untuk terlihat baik-baik saja. Sebab dua remaja itu membutuhkannya.
"Tidak berguna," desis Voldemort dengan wajahnya yang sedikit kesal.
Kayra hampir lupa bahwa si Voldemort yang sinting itu masih ada di dalam ruangan ini. Dia lantas sadar, penderitaan mereka sama sekali belum berakhir. Bahkan mungkin bisa di bilang, baru akan di mulai.
Tiga orang yang masih memiliki hubungan keluarga itu lantas menegang, memandang cemas pada Voldemort yang sepertinya siap membunuh mereka bertiga secara bersamaan. Sekali lagi, Narcissa menjadi tameng untuk Draco dan Kayra. Wanita itu membawa mereka berdua ke belakang punggungnya, seakan siap untuk berkorban.
"Jadi, yang mana yang harus ku bunuh lebih dulu?" Voldemort bertanya seakan mereka bertiga adalah opsi. "Kau, Narcissa? Atau dua bocah di belakangmu?"
"Jangan sentuh mereka." Narcissa berkata dingin. Dia tidak peduli kalau dia mati hari ini, tapi dia tidak akan membiarkan Voldemort menyentuh anak dan keponakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐚𝐢𝐦𝐥𝐞𝐬𝐬 || Draco Malfoy
FanfictionHanya cerita singkat tentang Kayra Avereen dengan semua kesulitan yang dia hadapi di tengah tugas yang di berikan oleh salah satu profesornya di sekolah, Severus Snape. "𝘿𝙤𝙣'𝙩 𝙡𝙤𝙫𝙚 𝙢𝙚, 𝘿𝙧𝙖𝙘𝙤. 𝙔𝙤𝙪'𝙡𝙡 𝙤𝙣𝙡𝙮 𝙜𝙚𝙩 𝙝𝙪𝙧𝙩." . ...