1.7 [Unwilling]

3.6K 482 7
                                    

Allo! Hope you enjoy! Happy reading, guys!

Makasih buat kalian yang bersedia meluangkan waktu untuk mampir dan baca ceritaku. Semoga betah sampai akhir.

Jangan lupa vote, komentar, dan bantu share cerita ini ke teman-teman kalian. Biar ramai.

Sekian ....

*****

Callisto menatap Alan dan Chiyo bergantian. Setelah mendengar penjelasan dari Alan, dan permintaan dari Chiyo, Callisto menghela nafas. Alan menatapnya keberatan, memohon agar tidak mengijinkan Chiyo, sedangkan Chiyo menatap penuh harap.

Tatapan itu, menggemaskan.

Callisto menghela nafas untuk kedua kalinya, setelah beberapa pertimbangan, dia menyerahkan tugas kepada Chiyo. Dan juga, Chiyo nantinya akan ditemani oleh ksatria terkuat di kediaman mereka—tentu kemampuannya masih di bawah Fedro dan Alan.

Alan protes, mendadak dia menjadi pria super bawel, mirip seorang ayah yang tidak rela anaknya bepergian jauh seorang diri.

"Chiyo masih anak-anak!"

Callisto mengangguk, dia tahu. Tapi, bagaimana lagi? Alan dibutuhkan di sini.

Chiyo bergumam lirih, "Aku bukan anak-anak." Ya, kenyataannya, jiwanya yang tersesat dulunya berumur 20 tahun, dia seusia Alan.

Setelah perdebatan tersebut, dengan berat hati Alan mengantar Chiyo melakukan persiapan sebelum keberangkatan. Chiyo meminta agar Fedro tidak diberitahu, jika saja Fedro tahu, dapat dipastikan dia tidak akan mengijinkan Chiyo pergi seorang diri.

Diam-diam Alan berniat memberitahu Fedro. Ya, sepupunya itu wajib tahu kemana sang anak angkat pergi.

Setelah menyiapkan kereta dan perbekalan untuk satu hari perjalanan, Chiyo dan Lurius—ksatria yang mengawalnya—memulai perjalanan. Mereka cukup melewati hutan setelah ibu kota, desa tempat pengusaha minuman itu berada di seberang hutan.

Chiyo duduk di dalam kereta kuda, tepat di belakang Lurius. Karena penasaran, Chiyo mengintip dari celah yang ada.

Usil, Chiyo menoel telinga Lurius. "Psstt, siapa namamu?" tanya Chiyo seraya berbisik.

Lurius tersentak, dia menoleh ke belakang, mendapati Chiyo yang mengintip dari celah dengan senyuman lebar. Celah itu cukup lebar, menunjukkan keseluruhan muka serta ekspresi gadis tersebut.

Lurius tersenyum, tatapannya teduh, gurat wajahnya tegas sekaligus menenangkan. "Ya, Nona? Nama saya Lurius, Anda Nona Chiyo, bukan?"

Chiyo terpana, terhenyak mendengar suara Lurius yang mengalun lembut. Hati Chiyo tersentuh hanya dengan mendengar suara Lurius. Pasti dia tipe pria lemah lembut dan penyayang!

Chiyo mengangguk lucu, dia menatap Lurius tanpa berkedip, hingga membuat yang ditatap salah tingkah.

"Nona Chiyo sangat menggemaskan, seperti yang Tuan Fedro katakan," batin Lurius. Dia kembali menatap ke depan.

Lurius berdehem. "Maaf Nona, saya tidak bisa terus-terusan menghadap ke arah Nona Chiyo. Apakah kita bisa berbincang dengan saya tetap menghadap ke depan?"

Chiyo mengangguk lagi. "Tidak masalah Liu, eum … bolehkah aku memanggilmu Liu, Lurius?"

Lurius tersenyum, melirik Chiyo. "Suatu kehormatan bagi saya, Nona. Silahkan panggil saya semau Anda."

Senyum Chiyo merekah. "Baiklah, Chi akan memanggilmu Kakak Liu! Setuju bukan?" Chiyo bertanya antusias, tawanya mengudara. Tawa riang yang menunjukkan betapa bahagianya dia menemukan teman baru seperti Lurius.

"Ya-ya Nona, saya se-tuju." Lurius menjawab tergagap. Wajah riang Chiyo dengan rona merah di pipi membuat Lurius gugup. Pantas saja Fedro menyayangi Chiyo, dan benar ucapan tuan mudanya itu, Chiyo gemar memberikan panggilan-panggilan untuk orang yang ditemuinya—yang dia anggap teman.

Dengan begitu mereka akrab dengan cepat, percakapan mereka mengalir, seolah tidak akan kehabisan topik. Lurius dengan seksama mendengarkan Chiyo menceritakan kegiatan sehari-harinya, juga, Chiyo tampak antusias mendengarkan Lurius bercerita tentang adik-adiknya yang lucu.

Lurius memiliki empat adik yang memiliki kepribadian saling berbanding terbalik, adik-adiknya selalu saja saling berebut mendapat perhatian dari kakak tertua—Lurius. Dan tingkah mereka sangat menggemaskan di mata Lurius. Dari cerita Lurius, Chiyo akhirnya tahu bagaimana sikap Fedro saat masih kanak-kanak, seorang jenius yang penuh ambisi.

Percakapan terhenti ketika sudah mencapai setengah jalan, mereka kini berada tepat di pintu masuk menuju hutan. Chiyo mengajak Lurius untuk makan perbekalan terlebih dahulu. Lurius menurut pada permintaan nona mudanya, dengan ijin Chiyo dia ikut masuk ke dalam kereta kuda dan makan di sana bersama sang Nona.

"Nona, saya tidak keberatan makan di—"

"Temani, aku tidak suka makan seorang diri. Itu mengingatkanku saat sebelum diadopsi oleh daddy."

Lurius mengangguk. "Baik, Nona."

*****

Perjalanan berlanjut seusainya Chiyo dan Lurius makan. Mereka sesekali bercakap, membahas banyak hal. Belum sampai setengah perjalanan, matahari lebih dulu terbenam.

Lurius mulai fokus ke depan, mengantisipasi jika halnya ada sesuatu yang membahayakan.

Chiyo pun memutuskan diam, hendak menyelami alam mimpi, jika saja kegaduhan tidak tiba-tiba terjadi, memecah keheningan hutan. Kereta kuda berhenti mendadak, kuda mereka meringik, kemudian Lurius yang tiba-tiba masuk ke dalam kereta kuda tanpa ijin kepada Chiyo.

Wajah Lurius panik, khawatir terhadap nonanya. "Nona, gawat!"

Kesadaran Chiyo pulih dalam waktu singkat. Wajah Lurius seolah mampu menjelaskan kepada saat ini.

"Bandit, Nona tetaplah tenang di dalam kereta. Saya akan menjaga tepat di hadapan pintu kereta, menjaga Nona. Saya akan melindungi Nona." Lurius berkata tegas, suaranya yang serak membuat Chiyo merinding. Mata Lurius berpendar, menatap was-was sekumpulan bandit yang siap menyerang kapan saja.

Satu, dua, tiga, empat … Lurius menghitung.

Lurius menghela nafas. Dua puluh bandit.

[To be continued ….]

Kemarin lusa gagal triple update gara-gara ketiduran sehabis buat chapter 16.

Chiyo ada aja ulahnya, mau bantuin tapi endingnya malah nyusahin.

Follow for support:
Wattpad: @MeRaa-
Instagram: @jst.sweetch (Sweetcho)

Next?

See you next chapter!

With love,
Me Raa

Hot Daddy, Take Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang