Allo! Hope you enjoy! Happy reading, guys!
Makasih buat kalian yang bersedia meluangkan waktu untuk mampir dan baca ceritaku. Semoga betah sampai akhir.
Jangan lupa vote, komentar, dan bantu share cerita ini ke teman-teman kalian. Biar ramai.
Sekian ....
*****
Chiyo dengan semangat mengikuti langkah Frey yang berlari mengelilingi tanah lapang tempat para prajurit berlatih. Frey tidak langsung menunjukkan skill-nya dan melakukan latihan dasar, dia ingin terlebih dahulu mengukur kemampuan dan kekuatan Chiyo terlebih dahulu.
Jadi, dimulai dengan olahraga ringan yang Frey tebak tidak terjamah oleh gadis seperti Chiyo. Berlari salah satunya, Frey ingin tahu ketahanan Chiyo sampai titik mana.
Jika tidak, Frey tidak akan bisa menentukan pilihan tepat untuk mengatasi Chiyo. Frey akan bingung memulainya darimana, agar sang murid menerima pelajarannya secara maksimal dan baik dalam penerapan setiap teknik.
Metode pengajaran yang tepat adalah salah satu faktor yang harus dipertimbangkan, menyesuaikan metode dengan kemampuan dan kecakapan murid. Dengan begitu, guru akan tahu bagaimana cara memaksimalkan bakat murid yang diajarnya.
Frey melirik Chiyo yang masih tampak bersemangat setelah menuntaskan tiga putaran. "Bagaimana Chi, apa kau masih mampu melanjutkannya?" tanya Frey meneruskan langkah.
Chiyo mendongak. Lagi, untuk kesekian kali Frey melihat binar kagum Chiyo. "Tentu!"
Gadis itu, memiliki stamina yang cukup tinggi, padahal dia terlihat seperti gadis manja yang lemah. Frey tersenyum, tidak seburuk itu rupanya.
Baiklah, Frey kali ini akan lebih serius. Frey menambah kecepatan langkah kakinya, mau tidak mau membuat Chiyo melakukan hal yang sama—takut tertinggal.
Di tengah tanah lapang, para prajurit sedang berlatih, satu dua sesekali melirik Chiyo yang berlari bersama Frey. Mereka mengenal siapa seorang Alfrey Zeldrick, salah seorang guru terbaik dari guru-guru terbaik akademi militer. Tidak sembarang orang bisa diajar secara langsung, apalagi privat oleh Alfrey—atau yang kerap dipanggil Frey mudahnya.
Frey pensiun dari dunia militer tiga tahun lalu. Dia ingin menikmati masa tua dengan damai, tidak lagi bersimbahan darah.
Frey menoleh ke belakang, Chi tepat berada di belakangnya. Gadis itu mandi keringat, nafasnya mulai tersengal setelah putaran kedua dengan kecepatan saat ini.
Dari tempatnya, Fedro tidak mengalihkan pandangannya dari Chiyo. Fedro gelisah. Kenapa Chiyo tidak kunjung berhenti berlari bersama Frey? Fedro khawatir gadisnya akan kenapa-kenapa.
Fedro tercenung. Tunggu, gadisnya?
Kepalanya menggeleng. Bukan, maksudnya adalah anak gadisnya. Ya, dia khawatir kepada anak angkatnya itu. Begitu bukan? Ya, begitu.
Fedro manggut-manggut, dia berdebat dengan diri sendiri.
Fedro akui, Chiyo memiliki semangat tinggi. Lihatlah, bahkan gadis itu menyelesaikan putaran ketiga, sampai akhirnya Chiyo tersandung dan jatuh terjerembab.
Fedro membelalak, dia berlari menghampiri Chiyo, tetapi langkahnya kalah cepat dengan Lurius yang kebetulan berada di dekat Chiyo.
Frey turut menghampiri Chiyo, dia berjalan santai, seolah berlarian seperti tadi tidak berpengaruh sekalipun untuk dirinya yang tidak lagi muda.
"Nona tidak apa?" Lurius bertanya, khawatir. Pria itu merapikan anak rambut Chiyo, menyelipkan ke belakang telinga.
Bukannya terlihat kesakitan, Chiyo justru menunjukkan cengiran lebar. Dia mendongak menatap Frey dengan wajah tak berdosa. "Sebenarnya, kakiku mati rasa. Aku tidak bisa menggerakkannya."
"Aku tidak terbiasa berlari sejauh tadi, apalagi tanpa jeda. Tetapi aku tidak ingin membuat Maha Guru kecewa." Chiyo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah saat ditatap Frey.
"Astaga!" Lurius membantu Chiyo meluruskan kakinya. "Tidak baik terlalu memaksakan diri, Nona."
Frey menghela nafas, kemudian dia tersenyum. Frey ikut jongkok, menyetarakan tingginya dan Chiyo. "Aku tidak akan kecewa, lain kali katakan saja jika kau sudah tidak kuat."
"Maaf, aku telat menyadarinya, Chiyo." Frey menunduk. Kasihan melihat anak gadis muridnya yang sekarang menjabat sebagai muridnya pula.
Frey meminta Lurius membawa Chiyo untuk beristirahat, kelas bela diri diakhiri dengan Chiyo yang kakinya mati rasa. Frey menasihati, lain hari jangan memaksakan diri seperti ini.
Setelah berbincang-bincang, Lurius berpamitan, menggendong Chiyo ala bridal style.
Chiyo senyum-senyum sendiri, dia menatap teduh wajah Lurius yang dilihat dari sisi manapun tetap tampan. Ketampanan setiap karakter di cerita ini memang tidak diragukan.
"Ada yang aneh dengan wajah saya, Nona?" tanya Lurius sambil menghentikan langkah.
Chiyo tertawa, lalu menggeleng. "Tidak, hanya saja Chi sedang menikmati keindahan ciptaan Tuhan."
"Apa?"
"Kakak," jawab Chiyo membuat Lurius ikut tertawa.
Lurius melanjutkan langkah, dan di sepanjang jalan menuju kamar Chiyo mereka terus bergurau. Sesekali Lurius memberikan nasehat yang harus dilakukan Chiyo saat berlatih.
Di sisi lain, Fedro masih diam di tempat. Dia melihatnya, semuanya.
Fedro mengepalkan tangannya.
Kenapa? Kenapa dia merasa begitu kesal?
Matanya tidak berpaling dari Chiyo dan Lurius, bahkan ketika mereka menghilang dari jangkauan Fedro, matanya tidak beralih.
Bahkan, tawa mereka terdengar menyebalkan di telinga Fedro.
"Mungkin … aku tidak akan merestui Chi bersama dengan Riu sekalipun dia sudah beranjak dewasa nantinya." Fedro bergumam.
[To be continued ….]
Yaaaa … akhirnya bisa double up.
Follow for support:
Wattpad: @MeRaa-
Instagram: @jst.sweetch (Sweetcho)Next?
See you next chapter!
With love,
Me Raa
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Daddy, Take Me!
FantasyChiyo terbangun dari kematian. Padahal, Chiyo ingat jelas jika dirinya terjatuh dari tebing kala melakukan pendakian bersama teman-teman kampusnya. Jatuh dari tebing, seharusnya dia sudah mati. Namun ... kenapa dia justru bertransmigrasi?! Chiyo, se...