Bab 1 - Rasa Bersalah

162 14 9
                                    

"Ibu, kakak pulang terlambat, karena ada keperluan. Dia bilang, kita bisa makan malam tanpa menunggunya," ujar Priya seraya menghampiri ibunya, Parvati, yang tertegun di ruang makan, memangku wajahnya dengan satu lengannya di atas meja yang ditutupi taplak berwarna merah. Priya segera duduk di kursinya.

Parvati tergugah dari lamunannya, "Ah? Apa kau keberatan menunggu kakakmu sebentar?"

Priya tersenyum, "Tentu saja tidak, Ibu. Tunggu dulu. Ibu terlihat pucat. Ibu baik-baik saja?" Priya mulai cemas setelah melihat wajah ibunya sekilas.

Parvati hanya mengangguk lemah. "Aku tidak apa-apa, Nak."

"Aku akan telepon kakak untuk memintanya pulang sekarang," kata Priya, hendak beranjak dari kursinya. Namun, Parvati menahannya. Ia memberitahunya untuk tidak mengganggu kakaknya.

"Kalau begitu, kita makan malam lebih dulu, Ibu. Setelah itu, kita ke dokter. Tubuh Ibu cukup panas. Tidak perlu menunggu kakak. Dia juga pasti akan mengerti," usul Priya.

"Baiklah. Tapi tidak perlu ke dokter. Aku hanya lelah. Aku janji aku akan beristirahat setelah makan malam," bantah Parvati dengan lembut sambil mengusap tangan Priya dan menariknya perlahan untuk kembali duduk. Priya menatap ibunya, seakan mempertanyakan apakah ia sungguh baik-baik saja. Parvati memahami tatapan itu dan mengangguk.

"Baiklah," kata Priya mengakhiri percakapan itu. Mereka menikmati makan malam berdua dalam keheningan.

Setelah menyelesaikan makan malam, Priya mengantar Parvati ke kamar. Ia memastikan ibunya meminum obat demam sebelum membaringkan tubuhnya. Lagi, Parvati memanggil Priya dan menahannya sejenak sebelum anak itu pergi.

"Maafkan aku, Priya..." ucap Parvati lirih sembari menggenggam tangan Priya.

Priya terdiam. "Pasti rasa bersalah Ibu muncul lagi," pikirnya. Ia memberikan senyum manisnya pada Parvati dan mengusap bahunya.

"Ibu, sudahlah. Bukankah kita baik-baik saja sekarang? Kalau Ibu terus berkelit dengan perasaan itu, nanti Ibu makin sakit. Atau kelelahan ini karena Ibu terus-menerus memikirkan hal itu?" tanyanya dengan nada penuh selidik di akhir kalimatnya.

Parvati tersenyum tipis, "Kau ini."

"Sudah ya. Ibu istirahat saja. Aku akan menunggu kakak di ruang tengah. Kalau butuh sesuatu, panggil aku seperti biasa. Aku sayang Ibu," kata Priya sebelum memeluk dan meninggalkan kecupan manis di pipi ibunya.

"Jangan beri tahu Archana," pinta Parvati.

Priya memutar bola matanya dan menghela napas. "Aku tidak janji. Selamat malam, Ibu."

***

Priya mengambil ponselnya di kamar dan segera menuju ruang tengah untuk menunggu kakaknya. Ia berbaring, meluruskan tubuhnya di atas sofa berwarna krem sambil terus menggulirkan layar ponselnya. Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara mobil sedang diparkir di garasi. Priya tidak menghiraukannya. Ia tahu siapa pemilik mobil itu.

"Aku pulang," suara Archana, kakaknya, memecah keheningan, setidaknya keheningan dari pintu hingga ke ruang tengah di mana Priya menunggunya.

"Halo, Kakak," sambut Priya sambil meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari sofa untuk memeluk Archana.

"Kau sendirian? Di mana Ibu?" tanya Archana seraya mengarahkan bola matanya mengitari seisi rumah, mencari keberadaan ibunya.

"Ibu ada di kamar. Kuharap sudah tidur."

Archana mengerutkan dahinya, "Dia baik-baik saja?"

Priya menggerakkan bahunya, "Nanti kuceritakan. Kau bersih-bersih dulu sana. Aku tunggu di meja makan ya. Kau pasti lapar 'kan?"

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang