Satu minggu setelah hari ulang tahun Parvati, semua kembali ke Mumbai dan beraktivitas seperti biasa. Priya pergi ke kantor ditemani Parvati yang terlihat merindukan suasana kantornya, bertemu karyawan dan berbincang dengan mereka. Archana menghabiskan sepanjang pagi hingga siang hari di yayasannya. Ia bertanggung jawab penuh terhadap lembaga itu, karena ia yang berinisiatif mengajukan kepada ibunya untuk mendirikan yayasan tersebut.
Archana memeriksa beberapa berkas yang ada di atas mejanya. Pada pertengahan tahun akademik seperti ini, banyak sekali yang harus dipersiapkan, terutama program ujian bagi anak-anak, karena setelah itu, mereka akan memiliki libur akhir semester.
~ Flashback ~
Pagi itu, di rumah besar itu, Archana dan Priya sedang duduk di ruang tengah. Masing-masing membaca sebuah buku dengan genre dan warna sampul yang berbeda. Lalu, kedua orangtua mereka keluar dari kamar. Ayahnya, Arvind Singh, memakai pakaian rapi layaknya hendak pergi ke kantor, tetapi membawa sebuah satu koper besar, dan ibunya, Parvati, berpakaian lebih santai dan menyeret koper berukuran sedang. Priya menyadari hal itu lebih dulu daripada Archana yang masih terfokus pada bukunya.
"Ayah, Ibu, mau ke mana?" tanya Priya yang pada saat itu berusia 11 tahun. Mendengar pertanyaan adiknya, Archana, si gadis remaja berusia 16 tahun, menoleh. Raut wajahnya mempertanyakan hal yang sama.
"Ayah ada urusan pekerjaan di luar negeri, Sayang," jawab Parvati.
"Berapa lama? Kopernya banyak sekali," tanya Priya lagi.
"Sampai urusannya selesai," jawab Arvind.
Archana merasa ada yang aneh. Ayahnya sama sekali tidak melihat dirinya, seperti menghindari tatapannya. Ia mengamati ibunya yang terlihat tidak merasakan apapun. Ia kembali memperhatikan ayahnya lekat-lekat. Rasanya benar-benar ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
"Ayah," panggil Archana.
"Hmm?" sahut ayahnya, mengarahkan pandangannya pada putri sulungnya, tapi tetap berusaha menghindari kontak mata dengannya.
"Negara mana yang akan Ayah kunjungi kali ini?" tanya Archana, berusaha tidak terlihat menginterogasi. Memang, Arvind sering ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Makanya, Archana pikir, tidak ada salahnya menanyakan itu. Memang tidak salah. Tidak sama sekali. Matanya menunggu mata ayahnya untuk menatapnya juga.
Merasa terus-menerus diawasi, Arvind akhirnya menyerahkan tatapannya pada Archana sambil membalas pertanyaan putrinya dengan senyum mengembang, "Ke Jepang, Sayang. Mau ikut?"
Archana bangkit dari duduknya dan melangkah menuju titik di mana ayah dan ibunya berdiri. Ia membalas senyuman ayahnya dengan senyum seadanya dan memberikan pelukan pada ayahnya. Dengan suaranya yang lembut, namun bernada datar dan dingin, ia menjawab, "Tidak, Ayah. Terima kasih. Hati-hati ya, cepatlah pulang."
Arvind membalas pelukannya dan hanya mengangguk. Kemudian, Priya menyusul. Setelah pelukan perpisahan itu, Parvati, Archana, dan Priya mengantar Arvind hingga ambang pintu. Parvati dan Priya melambaikan tangan padanya. Namun, tidak dengan Archana yang berdiri sedikit di belakang ibunya. Wajahnya sama sekali tidak tersenyum.
"Ayah tidak akan kembali," pikirnya.
Mereka menyaksikan mobil yang mengantar Arvind ke bandara menghilang dari halaman rumah mereka.
"Ayah tidak akan kembali."
Kata-kata itu terus berputar di dalam kepalanya seharian ini. Ingin rasanya ia memberi tahu ibunya tentang apa yang telah ia lihat. Namun, melihat ibu dan adiknya terlihat biasa saja, ia mengurungkan niatnya. Pikiran itu ia simpan sendiri dan berusaha dikubur dalam-dalam.
"Diam, Archana. Itu tidak akan terjadi. Ayah pasti kembali," begitu kata suara lain dalam benaknya.
"Ayah tidak akan kembali. Kau lihat sendiri, 'kan?" ujar bagian dirinya yang lain.
"Ibu, tolong biarkan aku sendiri dulu. Ada tugas mata kuliah yang harus kuselesaikan," ujar Archana pada ibunya setelah makan siang. Parvati mengangguk.
"Maaf, aku berbohong, Ibu. Aku harus menghindari Ibu untuk beberapa waktu," batin Archana.
Sementara Priya hanya diam menatap kakaknya. Archana tahu, adiknya merasa heran. Tidak biasanya Archana mengerjakan tugas di akhir pekan. Biasanya, Archana memanfaatkan akhir pekan untuk bersantai.
"Aku tidak akan mengatakan apapun sampai kita tahu yang sebenarnya. Kumohon, jangan memaksaku bicara sekarang, Priya," ujar Archana yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Ia membalas tatapan Priya sambil tersenyum, seolah memang tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang akan terjadi.
Archana masuk ke istana putihnya dan mengunci pintunya. Ia benar-benar tidak ingin ada orang yang mengganggunya. Ia butuh waktu untuk berpikir. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Seburuk apapun hal atau kemungkinan yang pernah ia tangkap di mata orang lain, ternyata masih ada hal yang jauh lebih buruk lagi, yang baru saja pagi itu ia temukan di mata ayahnya. Hal yang satu ini benar-benar membuatnya resah. Mungkin, karena terjadi di dalam keluarganya sendiri, lingkungan terdekatnya sendiri. Ia bahkan menjadi pendiam dan tidak banyak bicara di rumah. Ia takut bibirnya secara tidak sengaja menceritakan apa yang ia lihat.
~ Flashback end ~
Archana menekan berkas-berkas di atas meja kerjanya dan menghela napas dengan kasar. "Sial, kenapa ingatan itu kembali muncul?" gumamnya. Benaknya memunculkan kembali memori buruk 17 tahun yang lalu. Tidak berhenti di situ, kenangan buruk setelahnya juga ikut menghampirinya.
Di antara semua hal yang dilihat Archana dalam bayangan orang-orang yang menatap matanya dan semua hal yang benar-benar terjadi sesuai apa yang dilihatnya itu, hal yang satu inilah yang paling mengganggunya. Bagaimana tidak, ia mengetahui segalanya―segala kemungkinan, bahkan sebelum hal itu terjadi dan sayangnya hal itu benar-benar terjadi. Ia mengetahui sesuatu yang hingga saat ini ia sembunyikan dari Parvati. Hal ini seringkali membuatnya merasa buruk. Ia merasa mengkhianati ibunya, meskipun sebenarnya tidak, ia hanya ingin melindungi perasaan ibunya. Ia belum siap untuk memberi tahu apa yang telah ia ketahui.
Kecelakaan pesawat yang waktu itu menjadi perbincangan paling marak dibicarakan di India memang terjadi, tapi ayahnya bukanlah salah satu penumpang dari pesawat itu. Waktu itu keadaan sangat kacau, sulit sekali untuk dijelaskan, sehingga terjadi kerusakan dalam sistem informasi dan sebagainya. Ayahnya masih hidup, hanya saja ia memang tidak kembali kepada keluarganya. Ada alasan bagi Archana untuk menyebut ayahnya dengan si bajingan. Archana hanya memberi tahu hal ini kepada Priya, tentu saja ketika usia Priya sudah cukup dewasa untuk mencerna semua ini. Archana meminta Priya untuk menutup mulutnya rapat-rapat setelah ia memberi tahu segalanya disertai dengan bukti-bukti yang ia temukan. Tidak ada orang lain yang boleh tahu. Kedua putri Singh yang kini namanya menjadi Kapur, mengikuti nama keluarga ibunya atas keinginan mereka sendiri, lebih suka menganggap ayahnya telah tiada dalam kecelakaan itu.
Archana beranjak meninggalkan meja kerjanya dan pergi ke toilet. Ia membasuh wajahnya beberapa kali sebelum mengeringkannya dengan handuk dan menatap cermin oval di hadapannya. "Sampai kapan kau akan menyimpan rahasia besar ini, Archana?"
![](https://img.wattpad.com/cover/308302814-288-k423014.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...