Archana terlihat memakai dress putih selutut yang bercorak bunga-bunga kecil berwarna merah dan jaket rajut yang juga berwarna merah sudah duduk di sofa panjang yang terletak di ruang tengah bungalow yang ia tempati selama beberapa hari ke depan. Rambutnya dibiarkan tergerai berombak menuruni bahunya. Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Archana menoleh ke sumber suara dan menemukan ibunya keluar dari kamar dengan terbalut jaket yang serupa dengan milik Archana yang kancingnya tertutup rapat dan celana panjang berwarna putih. Rambutnya tersanggul dengan rapi. Archana beranjak dan segera menghampiri ibunya.
"Ibu, keren sekali!" seru Archana sambil memperhatikan pakaian yang dikenakan ibunya.
"Ibu tahu. Terima kasih," balas Parvati sambil mengusap lengan Archana.
"Tapi, Ibu rapi sekali hahaha. Kita hanya akan menikmati makan malam di balkon atas bungalow ini, Ibu," kata Archana sambil terkekeh pelan.
"Archana, harusnya Ibu yang protes terhadap pakaianmu. Biarpun kita hanya akan makan malam di lantai atas, tetap saja, kenapa kau memakai dress yang hanya selutut ini? Ini Shimla, Archana," ujar Parvati dengan nada sedikit menggurui.
"Yang penting ada ini," jawab Archana sambil menggoyangkan bahunya sedikit berputar ke kanan dan ke kiri, menunjukkan jaket rajut yang dipakainya. "Ini akan selalu membuatku hangat, Ibu," tambahnya. Parvati hanya tersenyum mendengarnya.
Tidak lama kemudian, Priya keluar dari kamarnya. Ia mengenakan celana panjang hitam, kaus polos hitam dan jaket serupa. Jaket merah yang mereka pakai adalah rajutan tangan Parvati sendiri. Ia membuatnya beberapa tahun yang lalu. Satu untuknya, satu untuk Archana, dan satu untuk Priya. Archana dan Priya menetapkan jaket merah itu sebagai dresscode untuk perayaan ulang tahun ibunya tahun ini.
"Lihatlah, putri yang satu ini akhirnya keluar dari sarangnya setelah bersiap selama berjam-jam," ejek Archana setelah melihat Priya. "Dengan nuansa hitam merah pula. Suram sekali, Tuan Putri," lanjutnya.
Seraya melangkah mendekati kakak dan ibunya, Priya mendengus pelan. "Cerewet sekali," balasnya. Wajah cemberutnya membuat Archana dan Parvati tertawa kecil.
"Baiklah, ayo."
Sebuah ruangan di lantai dua terlindah indah dengan dekorasi lampu berwarna kuning emas yang memberikan kesan hangat. Tidak lupa, hiasan lain berwarna emas juga turut menghiasi ruangan tersebut. Beberapa pegawai bungalow juga berada di sana untuk menyambut tiga wanita itu. Satu per satu dari mereka memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada Parvati. Setelah menerima berbagai ucapan dari para pegawai bungalow, mereka mencapai sebuah meja dengan dekorasi yang tidak kalah indah dengan dekorasi ruangan itu. Sebuah kue cokelat dan beberapa hidangan telah tersaji di atasnya. Parvati tidak terbiasa merayakan pesta ulang tahun seperti ini. Namun, kali ini ia sangat terkesan hingga tidak dapat menahan aliran air matanya.
"Selamat ulang tahun, Ibu," ujar Archana dan Priya bersamaan sambil memeluk ibunya dari kedua sisi. Sesekali Archana dan Priya menciumi pipi ibunya.
"Terima kasih, Sayang," balas Parvati dengan suaranya yang lirih.
Archana melepaskan pelukannya dan berbalik, memberikan tanda kepada para pegawai untuk meninggalkan mereka. Priya juga berbalik, tapi ia hanya diam. Parvati mengikuti kedua putrinya dan mengucapkan terima kasih kepada para pegawai.
Kini tinggal mereka bertiga di ruangan itu, di balkon terbuka yang menampakkan pemandangan langit malam penuh bintang dan diterangi cahaya bulan. Mereka menempati kursi masing-masing dan memulai perbincangan ringan. Archana bertekad bahwa ia tidak akan memberi tahu ibunya tentang sang ayah yang menghubunginya beberapa hari lalu. Ia tidak ingin merusak momen yang ada di hari itu. Baginya, hari ulang tahun ibunya selalu spesial. "Karena Ibu, aku bisa seperti ini," begitu pikirnya.
"Ibu, maaf kami hanya bisa menyiapkan ini untukmu," ujar Priya. "Sebenarnya, ini ide kakak. Ide kakak untuk merayakannya di sini," tambahnya.
"Iya, Ibu, karena kupikir, kalau kita punya bungalow sendiri, kenapa harus ke tempat lain? Lagipula, sudah lama 'kan sejak terakhir kali kita ke mari?" balas Archana dengan alibinya.
"Tidak, kau hanya malas pergi jauh," ejek Priya, mengakhirinya dengan kekehan kecil. Archana menatapnya sinis. Sementara Parvati hanya tersenyum. Kedua anaknya selalu saja meributkan hal kecil, tapi ia tahu, keduanya saling menyayangi.
"Kau ini, terus saja mengejek kakakmu. Lalu, apa bagianmu dalam rencana ini?" lerai Parvati.
"Ini," jawab Priya singkat seraya menarik bahu jaketnya sedikit terangkat. "Aku yang menyarankan dresscode ini, dan untungnya, kakak setuju. Tanpa menolak sedikitpun, Ibu," tambahnya.
"Oh, jadi jaket rajutku ini adalah dresscode," gumam Parvati sambil mengangguk.
"Baiklah sudah cukup membicarakan rencana ini. Ibu tidak perlu tahu lebih lanjut. Sekarang berdoalah dan bersiap tiup lilinnya," ujar Archana sambil menyalakan tiga lilin kecil yang sudah bertengger di atas kue cokelat itu.
Suasana menjadi hening. Angin malam yang semilir tidak henti-hentinya bertiup lembut. Parvati menutup matanya. Archana dan Priya memandanginya dengan tatapan mata yang berbinar, seakan mata mereka memberi tahu dunia bahwa mereka sangat bangga memiliki Parvati sebagai ibu mereka. Sesekali Archana melirik Priya atau sebaliknya yang disambut senyum atau kekehan kecil dari satu sama lain. Tidak lama kemudian, Parvati membuka matanya dan meniup api di lilin-lilin itu hingga padam. Archana dan Priya bertepuk tangan dan bersorak.
"Selamat ulang tahun, Ibu!"
Mereka menikmati makan malam sambil berbincang tentang apapun. Melihat keceriaan di mata ibunya, Archana benar-benar tidak ingin mengatakan satu kata pun tentang ayahnya. Terlebih, ketika ia menangkap bahwa hanya akan ada hal-hal baik dan kegembiraan di hari-hari berikutnya, yang ia temukan di mata ibunya maupun di mata Priya. Ia tidak mungkin merusak hal itu. Ia tidak mau melakukannya. Sebagai putri sulung, ia harus bisa menjaga ibu dan adiknya dari hal-hal buruk. Namun, yang sudah terjadi di masa lalu, biar saja menjadi kenangan buruk di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fiksi Penggemar[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...