Ting!
Lift berhenti di lantai 9. Archana menekan salah satu tombol agar pintu lift tetap terbuka. Ia keluar tidak jauh dari lift dan berusaha menghubungi Dev. Syukurlah teleponnya terhubung. Archana menceritakan secara singkat, kemudian kembali masuk ke dalam lift sambil menunggu Dev. Tidak lama kemudian, Dev datang dengan langkah setengah berlari.
"Archana, kau baik-baik saja?" tanya Dev seraya menangkup wajah Archana.
Archana mengangguk. "Aku tidak apa-apa. Kita harus segera bantu Aman," ujarnya.
Dev melihat keadaan Aman. Ia segera menghubungi resepsionis hotel dan meminta mereka menyiapkan satu kamar besar di lantai dua dan memanggil seorang dokter, sementara mereka bergegas menuju ke sana. Archana berdoa agar lift yang mereka tumpangi tidak macet untuk yang kedua kalinya.
Mereka tiba di kamar yang Dev sewakan untuk Aman dan membaringkan Aman di ranjang yang cukup besar.
"Archana, kau kau pasti masih syok. Kau bermalam di sini saja ya? Akan kupesankan satu kamar lagi," saran Dev.
Archana kala itu melamun memandangi wajah pucat Aman yang terlelap dengan tenang, sambil terus berpikir tentang apa yang tadi ia temukan. Terlalu sibuk tertegun dan tidak membalas perkataan Dev, hingga Dev menangkap basah dirinya.
"Archana?"
"Ya? Kau bicara padaku?" sahut Archana sambil melihat Dev.
"Kau pikir aku bicara dengan orang yang kau lihat wajah tertidurnya sejak tiga menit yang lalu? Kau jatuh cinta padanya?"
"Hm? Tidak. Kau ini jangan sembarangan bicara, Dev. Tadi kau bicara apa?"
"Mengalihkan topik, Nona Archana Kapur?" cecar Dev dengan ekspresi wajah mengejek. "Kau bermalam di sini saja, karena-"
"Apa? Dev, aku tidak bisa satu kamar dengan orang asing, terlebih ini laki-laki. Aku akan pulang," potong Archana.
"Aku belum selesai bicara. Kau begitu ingin satu kamar dengannya?" Dev memegang kedua bahu Archana untuk membuatnya tersadar. Archana berkedip bingung.
"Archana, aku akan memesankan satu kamar lagi untukmu. Kau masih syok. Tinggallah di hotel ini untuk satu malam ini. Aku mohon. Aku takut terjadi sesuatu padamu di jalan nanti. Ini sudah malam," jelas Dev.
Archana meraih ponselnya untuk melihat pukul berapa sekarang. Delapan tiga puluh malam. Butuh satu jam untuk sampai ke rumah, dan ia merasa tidak cukup kuat, meskipun ia juga merasa mampu membawa dirinya pulang malam itu juga. Namun, memikirkan kata-kata Dev, ia akhirnya menyetujui saran temannya itu.
"Kau membutuhkanku di sini atau-"
"Kembalilah ke pestamu. Tamumu pasti menunggu," ujar Archana. "Aku tidak apa-apa. Maaf ya telah membuatmu meninggalkan pestamu."
Dev berdecak, "Baiklah. Tidak masalah. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi aku ya. Oh ya, ingat, dokter bilang Aman akan sadar sebentar lagi." Dev kemudian berpamitan dan meninggalkan Archana di kamar Aman.
Beberapa menit kemudian, Archana menerima sebuah pesan dari Dev. "Kamarmu nomor 208, tepat di depan kamar Aman. Kuncinya akan diberikan padamu segera. Keputusan selanjutnya ada padamu, kau ingin tetap di sana hingga dia terbangun dan melihat kecantikanmu atau kembali ke kamarmu sebelum dia membuka matanya," dan diakhiri dengan dua ikon tertawa. Archana menggeleng setelah membaca pesan itu. Lima menit kemudian, seorang pegawai hotel mengetuk pintu kamar Aman untuk memberikan kunci kamar Archana.
Archana memutuskan untuk menunggu Aman sadar hingga ia bisa memastikan kalau Aman baik-baik saja. Ia menunggu di sebuah sofa panjang yang terletak di sebuah ruang di depan kamar Aman yang hanya dibatasi sebuah dinding sembari menghubungi ibunya.
"Halo, Ibu. Aku tidak pulang malam ini."
"Tadi ada sebuah insiden. Lift yang kutumpangi tiba-tiba macet dan ceritanya panjang. Tapi Ibu tenang saja, aku tidak apa-apa."
"Dev menyewakan satu kamar hotel untukku. Besok siang aku kembali."
"Baiklah. Dah, Ibu, selamat malam."
Tidak lama setelah sambungan teleponnya terputus, Archana mendengar erangan kecil. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dan bergegas ke kamar Aman. Mata pria itu perlahan terbuka. Ia mengerjap memerhatikan sekelilingnya dan ia berusaha untuk bangkit. Archana sedikit khawatir, namun sudah lebih tenang dari sebelumnya.
"Aman," ujarnya seraya membantu Aman untuk duduk.
"Kau? Aku di mana?" tanya Aman dengan suaranya yang parau.
Archana mengisi gelas kolong di atas nakas dengan air putih hingga menyisakan beberapa senti dari mulut gelas. "Ini, minumlah dulu," katanya, memberikan gelas itu kepada Aman.
Archana bisa melihat tangan Aman masih lemah, namun pria itu berusaha untuk menggenggam gelas dengan benar dan menenggak air di gelas itu pelan-pelan. Archana menadahkan tangannya tidak jauh dari bagian bawah gelas itu, bersiaga kalau-kalau Aman benar-benar melepaskan gelasnya secara tiba-tiba karena terlalu lemah. Aman menghabiskan isi gelas itu dalam beberapa tegukan sebelum mengembalikannya pada Archana.
Archana menarik kursi kecil di sisi kamar untuknya duduk di sisi ranjang. "Syukurlah kau sudah sadar. Merasa lebih baik?" Aman mengangguk pelan. Pandangannya masih mengitari seisi ruangan yang menaungi dirinya dengan wanita yang memiliki mata berwarna hazel itu. Archana menatapnya dengan tatapan paling lembut yang pernah ia berikan pada orang asing. Satu sisi, ia merasa khawatir dengan keadaan Aman setelah apa yang baru saja terjadi pada mereka. Begitu takutnya pria ini hingga ia lupa bahwa ada keharusan baginya untuk melindungi wanita. Di sisi lain, ada bagian dirinya yang ingin mengonfirmasi apa yang ia lihat dalam mata Aman ketika mereka terjebak di dalam lift.
"Kita ada di hotel, tempat Dev menggelar pestanya. Kau sempat pingsan saat insiden lift tadi," jelasnya.
Aman mendengarkan Archana dengan baik. Setelah mendapat jawabannya, ia berpaling pada Archana. Wajahnya masih sedikit pucat. Bola matanya yang berwarna kecokelatan diselimuti oleh kelopak matanya yang sayu. Tidak sengaja terkunci dalam tatapan mata hazel milik Archana.
"Kau? A-"
"Archana. Aku yang tadi bersamamu di lift."
"Oh ya... Kau baik-baik saja?" desis Aman. Suaranya masih sedikit bergetar. Archana mengangguk dan mengedipkan matanya dengan lembut.
"Maaf ya. Harusnya aku yang menenangkanmu."
"Tidak masalah. Menurutku, tidak harus selalu begitu," balas Archana dengan senyum manisnya. Matanya tidak lagi terkunci pada sepasang mata di hadapannya, tetapi sibuk mengamati tangannya yang kini berada dalam genggaman Aman. "Apa ini?" pikirnya.
Archana tidak membiarkan situasi seperti itu berlangsung lebih lama lagi. Ia tidak bisa menahan kegundahan dalam hatinya. Maka, ia melepaskan tangannya dan meminta Aman untuk melanjutkan istirahatnya. Archana beranjak dari duduknya, hendak meninggalkan kamar Aman dan beristirahat di kamar seberang yang sudah disewakan Dev untuknya. Archana memberi tahu Aman, jika ia membutuhkan sesuatu, Archana ada di kamar seberang.
"Archana," panggil Aman ketika Archana hampir melewati ambang pintu kamarnya.
"Hmm?" gumam Archana seraya membalikkan tubuhnya.
"Terima kasih." Kata-kata Aman disambut oleh senyuman tulus di bibir Archana.
Sembari berjalan menuju kamarnya, Archana berpikir, "Apa tadi aku menawarkan bantuan lain padanya? Benarkah, Archana? Benarkah itu yang kau lihat dalam matanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...