Pagi-pagi sekali, ketika mentari belum sepenuhnya terbit, bahkan bayangan bulan masih menghiasi langit, Archana pergi ke taman belakang rumahnya dengan membawa sebuah gulungan matras tipis berwarna hitam dan satu botol minum yang telah diisi air. Semilir angin pagi yang dingin dan sejuk membelai wajah Archana. Ia berniat untuk melakukan meditasi dan yoga kecil-kecilan pagi ini untuk menjernihkan pikirannya sebelum ia mengambil keputusan. Ya, ia menyadari dirinya berada di tengah-tengah antara Priya, adiknya sendiri, dan Aman, seseorang yang baru saja hadir dalam hidupnya, tapi terasa dan entah mengapa, seakan ia merampas ketenangan hidup Archana. Di satu sisi, ia memahami Priya yang berpikir bahwa Aman membuat mereka terpisah dengan sang ibu. Mungkin Priya butuh lebih banyak waktu untuk berdamai dengan hal ini. Namun tetap saja, bagi Archana, berpikiran seperti itu, salah. Di sisi lain, Archana merasa tidak bisa membiarkan Aman menghadapi segalanya sendirian, meskipun ada Radha, adiknya. Tapi, rasanya pasti berbeda, karena ada pepatah yang berbunyi, "Terkadang, ketika kita merasa sakit karena sesuatu, maka disadari atau tidak, sesuatu itu jugalah sebenar-benarnya penawar."
Archana sebenarnya tidak tahu, apakah ia bisa menjadi penawar bagi Aman. Ia hanya berpikir bahwa Aman kembali merasakan hal itu karena dirinya, maka ia harus turut membantu Aman menghadapinya. Setidaknya, menjadi teman bicara. Namun, bayangan tentang apa yang dilihatnya di dalam mata Aman terus menghantuinya. Archana bersama Aman. Bayangan yang samar, tapi tidak pernah ia lihat di mata siapapun sebelumnya. Entah apa yang membuat Archana begitu yakin bahwa Aman membutuhkan dirinya.
Archana menghela napas panjang sebelum membentangkan matrasnya di atas rerumputan yang dibasahi embun pagi. Ia duduk di atasnya, memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berusaha untuk menenangkan diri agar pikirannya terbawa dalam ketenangan. Beberapa saat kemudian, ia memulai gerakan yoganya satu per satu dan bertahap. Waktu berlalu tanpa terasa. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Cahaya indah berwarna kuning menerangi dan menghangatkan seisi bumi. Tepat ketika itu, Archana menutup kegiatan yoga dan meditasinya. Ia merapikan barang-barangnya dan meneguk air yang tadi ia bawa sebelum ia kembali ke dalam rumahnya dan merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang berwarna cokelat muda di ruang tengah.
Archana memeriksa ponselnya, membuka kalender dan memperhatikan detail kegiatan setiap harinya. Tidak ada ada kegiatan yang akan membuatnya sibuk hari itu. Tidak lama kemudian, ada sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dari Radha. Ia mengajak Archana untuk bertemu pada jam makan siang di sebuah kedai kopi di dekat taman kota. Awalnya Archana bingung dengan ajakan Radha yang cukup tiba-tiba. Namun, ia tidak mempedulikan itu. Toh, ini Radha, sahabatnya sendiri. Tidak ada salahnya Radha mengajaknya bertemu, lagi pula setelah melihat jadwalnya, Archana yakin bahwa tidak ada kesibukan yang membuatnya bisa menolak ajakan Radha.
***
"Hai," sebuah suara mengejutkan Radha. Tidak lain dan tidak bukan, pemilik suara itu adalah Archana. Ia datang menemui Radha sesuai dengan janjinya. Tangannya memegang segelas kopi yang ia pesan di konter depan sebelum ia menemui Radha. Hanya satu gelas, karena ia bisa melihat dari jarak beberapa langkah, Radha sudah memiliki minumannya sendiri. Radha bangkit dari kursinya dan memberikan pelukan singkat pada Archana.
"Maaf sudah membuatmu menunggu," ujar Archana seraya meletakkan barang bawaannya dan menempati kursinya di seberang kursi Radha.
Radha tersenyum. "Tidak, aku juga belum lama datang," ujarnya yang disambut dengan senyum hangat dan anggukan kecil dari Archana.
"Bagaimana harimu?"
Archana mendecak pelan sambil memutar bola matanya. "Seperti biasa. Tapi tidak begitu sibuk. Bagaimana denganmu?"
"Aku? Hariku juga ya sama saja. Mengunjungi kelas tari dan memikirkan ide-ide baru untuk tulisanku."
"Kau mempersiapkan buku barumu?" tanya Archana dengan sedikit terkejut. Radha mengangguk dengan semangat sebelum mendengar Archana membuka mulutnya lagi hanya untuk berkata 'Wow!'
Energi Radha tiba-tiba saja terasa menurun. "Hmm, Archana..."
Archana menyesap kopinya sambil menatap Radha dan menaikkan kedua alisnya sebagai tanda mempersilakan Radha untuk melanjutkan pembicaraannya. Ia tahu, kawannya ini ingin menyampaikan sesuatu yang mungkin sedikit menganggunya, karena ia bisa merasakan perbedaan energi Radha ketika ia bersemangat satu menit yang lalu.
Radha terdiam. Archana kembali meletakkan gelas kopinya di atas meja. "Ada apa, Radha? Kenapa kau tidak melanjutkan kata-katamu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Sepertinya begitu. Ayo cepat katakan," ujarnya.
Radha tercekat. Tidak heran dengan perkataan Archana yang memang benar adanya. Archana sudah mengenal Radha dengan sangat baik. Perubahan sekecil apapun, Archana pasti menyadarinya.
"Archana, maaf aku tidak menemanimu di hari kau kehilangan Bibi. Maafkan aku, karena aku baru mengetahui keterlibatan kakakku-"
"Ssshhh, Radha. Sudah," sanggah Archana seraya mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Radha dan menggenggamnya. "Sudah berlalu, Radha. Aku juga sudah merasa lebih baik. Begitu pun Priya."
"Aku sungguh menyesal dan merasa tidak enak padamu," mata Radha mulai berkaca-kaca.
Archana tersenyum dan menghela napas pelan, namun sedikit berat. "Hey, tidak ada yang perlu disesali, Radha. Yang sudah terjadi, memang sudah digariskan seperti itu, 'kan? Tapi ingat, ini bukan karena Aman. Kau tahu? Usia memang tidak akan ada yang pernah tahu."
Mendengar itu, air mata Radha tidak tertahan lagi. Satu butir menitik di pipi kiri sebelum satu butir lainnya menyusul di pipi kanannya. Archana terkekeh pelan dan mengambil tisu dari dalam tasnya. "Kalau kau menangis lagi, menangislah sendiri di sini. Aku akan pergi," ejeknya sambil memberikan dua helai tisu pada Radha.
Radha mendengus pelan sambil mengusap air matanya. "Kau ini." Keduanya tertawa pelan sambil kembali menikmati kopi mereka.
"Radha..." Kini, suara Archana yang melemah. Radha berdeham menanggapinya.
"Apa Aman baik-baik saja?" lanjut Archana.
"Kalau kubilang tidak, apa yang akan kaulakukan?" balas Radha yang membuat Archana terdiam. Ia tidak yakin.
"Aku serius."
"Oh, kukira kau masih bercanda," ejek Radha. Archana berdecak.
"Aku melihat kalian di taman belakang waktu perayaan Diwali." Seketika, Archana memaku pandangannya pada Radha.
"Kau...melihat kami? Kau...melihat semuanya?" tukas Archana. Suaranya sedikit bergetar. Entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi ada rasa takut yang menyelimuti hatinya.
Radha menggeleng kuat. "Tapi aku tahu semuanya. Kakak menceritakannya padaku tadi pagi. Jujur, inilah alasanku memintamu untuk bertemu."
Archana masih mencerna maksud Radha. Dengan alasan itu, apa tujuannya?
"Apa kau...benar-benar akan pergi?" tanya Radha, langsung ke inti permasalahannya.
Archana tercekat. Tidak disangka ia harus membuat keputusan secepat ini, meskipun pikirannya sudah mulai tenang karena meditasi tadi pagi. Namun, tetap saja. Ia harus mengatakannya secepat ini. Kepada Radha, adik Aman. Adik dari seseorang yang entah mengapa sebenarnya Archana tidak yakin bisa menjauhinya begitu saja.
Archana melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan sebelum kembali menatap Radha. "Aku... Radha, jujur saja, aku tidak tahu. Tapi, ya... Kurasa begitu."
Radha mengangguk pelan, tapi terlihat jelas dalam diamnya, ia bertanya-tanya. 'Apa ini benar?'
Sementara Archana, sibuk bergulat dengan isi hatinya sendiri. Di satu sisi, ada Priya, adik satu-satunya. Mereka hanya memiliki satu sama lain, setidaknya secara fisik, di Mumbai. Di sisi lain, hatinya terasa tidak nyaman. Ia tidak bisa, tidak ingin meninggalkan Aman seperti ini. Ditambah lagi, ia merasa bahwa Radha seperti memiliki harapan pada dirinya, seakan Archanalah yang bisa melepaskan Aman dari semua perasaan itu. Tapi keputusan Archana sudah bulat, ia mempertahankan hubungan dengan adiknya dan akan berusaha menjauh dari Aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...