Bab 7 - Aman

74 11 30
                                    

"Sudah pulang?" sambut seseorang ketika Radha hendak meletakkan roti-roti yang ia bawa di atas meja.

Radha sedikit terkejut melihat laki-laki berkemeja biru terang sedang menyesap kopi dari cangkir kecil yang diletakkannya di atas meja makan sembari membaca sebuah kartu berwarna merah marun.

Bukannya menjawab, Radha memutarbalikkan pertanyaannya, "Kakak, kau tidak pergi?"

Aman, satu-satunya kakak Radha, menadahkan tangannya, meminta roti yang dibeli oleh adiknya. Dengan sedikit cemberut, Radha memberikan satu croissant cokelat padanya dan memindahkan roti-roti lain dari bungkusnya ke sebuah piring ceper yang cukup besar. Ia duduk di samping Aman dan mengambil roti yang sama.

"Kakak, kau belum jawab pertanyaanku. Kenapa kau belum berangkat?" tanya Radha setelah melihat jam yang menempel di dinding ruang makan.

Aman menelan rotinya perlahan, "Aku? Berangkat ke mana?"

"Bukankah kau harusnya bertugas hari ini?"

"Hey choti rani, aku ini baru pulang, tahu. Aku sudah ke sana tadi, tepat setelah kau keluar rumah ini."

"Apa? Kalau tahu kau akan keluar juga, aku menumpang mobilmu saja. Dasar menyebalkan. Lalu itu apa?"

"Kartu undangan." Mendengar jawaban singkat kakaknya, Radha hanya ber-oh pelan.

Aman tidak menghiraukan perkataan adiknya lagi. Ia tetap menikmati croissant-nya. Begitu pun Radha. Namun, tiba-tiba, Radha teringat sesuatu. Ia mulai bicara ketika mulutnya masih penuh dengan rotinya yang belum selesai dikunyah. Aman memperhatikannya dengan sebal karena ia mencoba memahami perkataan adiknya yang tidak terlalu jelas itu, tapi ia juga menahan tawa melihat ekspresi wajah adiknya seperti itu, mulutnya penuh makanan dan alisnya terangkat.

"Kau ini bicara apa? Telan dulu rotimu, baru bicara," ujar Aman seraya terkekeh.

Radha menghentikan kalimatnya, mengunyah rotinya dengan benar dan menelannya. "Ya, baiklah, maaf. Kakak, apa kau ingat aku pernah bilang bahwa ada temanku yang menyukaimu?"

Aman memutar bola matanya dan mencoba mengingat. "Sepertinya aku ingat. Kenapa? Apa hubungannya denganku? Bertemu saja tidak pernah," katanya.

"Aku bertemu dengannya hari ini. Dia mengantarku pulang. Kalau aku tahu kau ada di rumah, aku akan memintanya mampir sebentar untuk bertemu denganmu," jelas Radha.

"Apa? Untuk apa?"

"Untuk memberi tahu padaya bahwa kakakku yang pernah ia suka itu ternyata seperti ini, tampan memang, tapi menyebalkan," ejek Radha.

Aman mendengus pelan, "Sheeessshhh, kau ini. Tapi, apa dia masih menyukaiku sekarang?"

Radha tersentak dan tertawa kecil. "Apa kau perlu tahu? Lagi pula, kau tidak mengenalnya."

Aman ikut tertawa. "Kalau begitu, beri tahu aku namanya, alamatnya, di mana kerjanya, siapa keluarganya juga."

"Kakak, seriuslah. Kau ingin tahu sekali, biasanya tidak peduli pada wanita manapun kecuali aku. Bahkan teman-temanku yang sering bertemu denganmu pun kau biarkan menjadi penggemarmu tanpa kau ingin tahu lebih lanjut."

"Begini, Radha. Aku hanya ingin tahu namanya. Lagi pula, kalau dia masih menyukaiku, itu bagus. Artinya dia sudah menyukaiku sejak lama. Itu tandanya, kau harus mempertemukanku dengannya. Ya, siapa tahu..." ujar Aman seraya menggerakkan bahunya naik dan turun.

"Siapa tahu apa?"

"Kalau kau punya kakak ipar yang sudah akrab denganmu, pasti menyenangkan, 'kan?" tanya Aman dengan nada mengejek. Mendengar itu, Radha menggelakkan tawanya.

"Kakak, kau tahu. Dia bahkan lupa kalau dia pernah menyukaimu! Hahaha."

"Apa? Tidak mungkin. Laki-laki sepertiku sulit dilupakan, kau tahu."

"Dia sendiri yang bilang, kak hahahaha. Berhentilah berharap, dia terlalu baik untukmu. Tapi ya sudah, tidak apa-apa, nanti akan kuatur pertemuannya. Kau ingin yang seperti apa?" ledek Radha.

"Dasar kau. Sudahlah, tidak perlu. Aku tidak peduli siapa namanya dan apakah dia masih menyukaiku atau tidak. Kasihan kalau harus mempunyai adik ipar seperti ini," Aman membalas ejekan adiknya.

"Oke. Ayo serius, kak. Dari sekian banyak teman wanitamu, dari sekian banyak wanita yang kau kencani, tidak adakah yang membuatmu menetap pada satu hati saja?"

Aman menyesap kopinya. "Kalau ada, pasti sudah kunikahi, Radha."

"Huh? Baiklah. Kenapa tidak ada?"

"Mereka tidak bisa menanganiku. Mereka tidak cukup kuat menanganiku dan diriku yang seperti ini. Kau mengerti maksudku 'kan?" Mendengar jawaban kakaknya, Radha tertegun. Ia berpikir sejenak sebelum mengembangkan senyumnya dan mengusap jari jemari Aman.

"Aku mengerti, kak. Jadi itu yang kau butuhkan?" tanyanya. Aman menganggukkan kepalanya sebelum beranjak dari kursinya.

"Apa aku tidak cukup?" selidik Radha dengan senyum konyolnya.

Aman berdecak. "Nanti kau akan menikah dan pergi ke rumah suamimu. Kau akan membiarkanku sendirian menghabiskan waktuku dengan segala penderitaan ini, huh?"

Radha tersenyum. "Kau ini memang butuh perhatian lebih. Baiklah, akan kupastikan calon kakak iparku nanti adalah orang kuat, tulus, dan mau menemani kakakku yang menyebalkan ini untuk selamanya," katanya. Aman hanya menatap adiknya, sedikit tersenyum.

"Terima kasih. Istirahatlah," ujarnya pada Radha. Aman meninggalkan kecupan lembut di kening adiknya dan berlalu ke kamar. Radha masih terdiam di kursinya, memandangi kakaknya hingga menghilang di balik pintu kamarnya. Radha menggelengkan kepalanya dan tersenyum lesu.

***

Ada lima bingkai kecil yang berjajar rapi di atas meja panjang di dalam kamar Aman. Masing-masing berisi foto dirinya dengan wanita yang berbeda. Ternyata, lima wanita yang berbeda itu adalah mantan kekasihnya yang ia kencani beberapa tahun terakhir. Semua masih berteman baik dengannya. Hanya saja, tidak sanggup melanjutkan hubungan mereka, tidak sanggup menemani Aman dengan segala hal di dalam dirinya untuk sisa hidup mereka. Aman terkekeh pelan sebelum membiarkan senyumnya bertahan di bibirnya dan mengalihkan pandangannya ke sebuah bingkai besar yang dipasang di bingkai kamarnya. Ada gambar dirinya dan Radha ketika mereka masih kecil, serta kedua orangtuanya di bingkai itu.

"Apaaku memang harus hidup sendiri, Ibu?" bisiknya.

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang