"Kakak, aku sudah pulang! Lihatlah apa yang kubawa hari ini," seru Radha dari depan pintu kamar Aman sembari mengetuk kayu persegi panjang itu.
"Kau mencari Aman, Nak?" suara Diya, salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah keluarga Srivastava, mengambil perhatiannya. Bukannya menjawab, Radha hanya terdiam.
"Dia ada di dekat kolam renang," lanjut Diya.
"Oh, terima kasih, Diya."
"Hmm. Kalau begitu, aku akan melanjutkan pekerjaanku." Radha mengangguk dan tersenyum.
Radha menemukan Aman termenung di kursi santai di sisi kolam renang. Ia berpikir mengusili kakakknya seperti biasa bukanlah masalah besar. Ia menggantungkan kantung kertas cokelat di depan wajah Aman.
"Teruslah melamun, kau tidak akan mendapatkan ini," ejeknya.
Aman tersentak. "Hey, butter naan! Berikan padaku," ujar Aman sambil berusaha meraih kantung itu dari tangan Radha, tapi Radha terus menghindar.
"Beri tahu aku, kakak. Kenapa kau tidak bekerja?"
"Aku sedang cuti."
"Cuti lagi? Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
"Hmm. Alasannya..." Keduanya terdiam.
"Sudahlah. Berikan naan itu padaku."
"Kau belum selesai cerita."
"Nanti akan kulanjut. Sekarang cepat berikan naan itu."
"Janji?"
"Tidak janji."
"Ah, kau ini."
Radha membuka kantung kertas yang dibawanya dan mengeluarkan semangkuk kari ayam. Enam lembar naan tersaji di antara mereka dan mereka sangat menikmati makanan itu. Radha terus mendesak Aman untuk memberi tahu alasan cutinya kali ini. Aman hanya mengatakan bahwa ia baru saja mengalami kegagalan yang sama. Radha tidak terkejut. Hal itu memang menjadi trauma mendalam bagi kakaknya. Ia memeluk Aman singkat sebelum meninggalkannya.
"Rileks, kakak. Jangan terlalu dijadikan beban pikiran. Aku masuk dulu ya," ujar Radha. Aman hanya berdeham.
Baru tiga langkah, Radha berhenti dan berbalik. "Oh iya, kakak. Dua minggu lagi ada perayaan hari Diwali. Mau buat pesta? Sederhana saja, undang keluarga dan teman-teman terdekat."
Aman terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. "Hmm... Atur saja."
"Baiklah."
"Jangan lupa undang temanmu yang dulu menyukaiku."
"Itu pasti!" seru Radha sambil melanjutkan langkahnya, meninggalkan Aman.
Burung-burung terbang bebas di langit luas. Angin semilir menyapa Aman. Suara gesekan daun terdengar menenangkan, tapi berhasil membawa pikiran Aman terhanyut dalam hal yang sama. Hal yang tidak membiarkannya tidur dengan tenang.
"Bagaimana tidak menjadi bebanku, Radha? Aku telah membunuh seorang ibu dari seseorang yang... Aku tidak tahu. Aku sangat merasa bersalah. Bagaimana aku bisa melakukan ini? Kalau saja aku tahu... Kalau saja aku tidak... Kalau saja..."
Pikirannya kalut. Hari-hari berlalu. Kematian Parvati membuatnya terus merasa bersalah. Terutama pada Archana. Setelah kenal dengannya dalam waktu yang sangat singkat, Archana seakan tidak pernah pergi dari benaknya. Suaranya, sentuhannya, tatapannya, bahkan aroma parfum floralnya yang menyegarkan. Archana begitu lembut. Menurut Aman, wanita itu tidak seharusnya menerima kepedihan seperti ini.
Sekarang Aman ragu tentang perasaannya terhadap Archana. Rasanya tidak mungkin ia mencintai wanita itu dalam waktu sesingkat ini. Namun, sisi lainnya merasa ia tidak bisa jauh darinya. Ada sebuah kalimat, "Ketika ada sesuatu yang melukai dirimu, terkadang, sesuatu itulah yang juga menjadi penawarnya." Archana tidak melukai Aman. Sama sekali tidak. Archana membuatnya kacau. Rasa bersalahnya begitu besar dan selalu menyeruak ketika ia mengingat Archana. Namun, terkadang, entah mengapa ia membutuhkan kehadirannya, sekadar untuk menenangkan dirinya.
***
Archana sepertinya sudah terbiasa tanpa kehadiran Parvati. Ia selalu menghabiskan waktu di tempatnya bekerja dan di rumah bersama Priya. Arvind sudah kembali ke luar negeri. Hubungannya dengan Archana dan Priya membaik. Kedua putrinya menyambutnya dengan kehangatan, karena hanya dirinyalah orangtua yang mereka miliki sekarang, meskipun ia tidak tinggal di India bersama mereka.
Setiap dua kali dalam satu minggu, Archana mengunjungi rumah sakit tempat Aman bertugas untuk menemuinya. Namun, nihil. Hingga ia berpapasan dengan salah satu perawat dengan label nama Rita.
"Permisi. Uh-hm, maaf. Saya Archana, teman dari dokter Aman. Saya ingin bertemu dengannya. Saya sudah sering ke sini mencarinya, tapi selalu tidak ada. Apa dia sudah tidak bekerja di sini?" tanyanya.
Rita tersenyum dan menjawab pertanyaan Archana dengan ramah. "Oh, dokter Aman. Dia masih bekerja di sini. Tapi dia sedang cuti untuk beberapa waktu."
Archana terdiam, namun memahami informasi itu. "Baiklah, terima kasih," ujarnya sebelum berlalu pergi.
Di dalam mobil, sebelum ia kembali ke rumah, pikirannya terus berputar. "Ke mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang? Tidak ada jejak apapun, tidak alamatnya, tidak nomor teleponnya," pikirnya. Kemudian ia teringat pertemuan pertama mereka terjadi di pesta topeng milik Dev. Ya. Mungkin, Dev tahu sesuatu tentang Aman. Ia bergegas menghubungi Dev. Namun, temannya itu tidak menjawab, bahkan teleponnya tidak aktif. Archana menghela napas berat, lalu mengirim pesan kepada Priya dan menunggu balasannya sebelum ia melajukan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, satu sisi Archana berkata, "Kematian Ibu pasti membuatnya merasa buruk dan bersalah untuk yang kedua kalinya setelah kejadian masa lalunya. Traumnya begitu besar hingga membuatnya begitu terpuruk. Kenapa dia harus menghilang seperti ini? Sekarang, dari mana aku bisa mengetahui kabarnya?"
Sementara sisinya yang lain mengatakan, "Kenapa kau ingin tahu, Archana? Sebesar itu kau mempercayai kalau dialah takdirmu? Kenapa kau begitu cemas? Sebesar itukah rasa khawatirmu padanya? Apa kau mencintainya? Atau hanya sekadar simpati?"
"Aku tidak tahu," bisiknya tiba-tiba seakan menjawab pertanyaan yang baru saja ia dengar di dalam dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...