Archana terlihat menuruni tangga rumahnya dengan menggotong sebuah koper berukuran sedang. Ia mengenakan celana jeans panjang berwarna putih dengan blouse merah. Kacamata hitamnya bertengger di atas kepalanya dan rambutnya dibiarkan terurai di bahunya. Ia melihat Priya yang juga baru saja keluar dari kamarnya dengan membawa barang serupa. Priya mengenakan celana jeans navy dan kemeja hitam, sementara rambutnya dikuncir satu ekor kuda di belakang kepalanya. Mereka berkumpul di ruang tengah.
"Ibu masih di kamar?" tanya Archana.
"Sepertinya masih," jawab Priya sembari menoleh ke pintu kamar ibunya yang masih tertutup.
"Kakak, kau yakin kita akan naik pesawat?" kini giliran Priya yang bertanya dengan raut wajah sedikit cemas.
Archana tahu maksud Priya menanyakan itu, tapi ia mengangguk mantap. "Kenapa tidak?" katanya. Ia lalu pergi ke pintu utama dan memanggil seorang sopir untuk membawakan barang mereka ke mobil.
Priya mematung di ruang tengah, memandangi pintu kamar ibunya yang tidak kunjung terbuka. Ia benar-benar mulai cemas. "Tidak biasanya Ibu butuh waktu selama ini. Sebaiknya aku periksa kamar Ibu," pikir gadis itu. Ketika ia hendak menuju kamar ibunya, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. Ia melihat Parvati keluar dari kamarnya membawa barang yang sama dengan miliknya dan Archana, sebuah koper berukuran sedang. Parvati memakai setelan hitam bergaris putih. Tidak ketinggalan kacamata hitam yang menutupi mata cokelatnya turut menjadi pelengkap penampilan Parvati. Rahangnya yang tegas sedikit tertutup oleh syal yang melingkar di lehernya. Meskipun begitu tertutup, Priya mengetahui ibunya merasa tidak siap untuk berpergian dengan pesawat.
"Ibu," sapa Priya. "Ibu tidak apa-apa?"
Parvati tersenyum, "Ya, Ibu baik-baik saja."
Mendengar jawaban ibunya yang tidak seperti kenyataannya, Priya menghela napasnya sedikit gusar. "Ibu, kalau Ibu tidak siap, aku akan membujuk kakak untuk membatalkan rencana ini dan mengganti mode transportasi kita," ujar Priya seraya meyentuh bahu ibunya.
Parvati memang merasa khawatir, tapi kepalanya menggeleng kuat dan memberikan senyum terbaiknya. Ia tidak ingin merusak rencana yang telah disusun oleh kedua putrinya. Lagipula, penerbangannya hanya sebentar. Ia tidak akan berada di dalam pesawat selama satu hari penuh. Priya terus menatap ibunya sampai akhirnya Parvati harus meyakinkan si bungsu.
"Kau mengetahui ini, Priya. Kakakmu juga pasti mengetahui ini. Kalian pasti sudah membicarakan tentang ini sebelumnya hingga akhirnya sepakat kita akan melakukan perjalanan dengan pesawat. Jadi, biarkan saja. Ibu akan mengikuti rencana kalian. Tidak apa-apa, jangan khawatir," ujar Parvati lembut sambil mengusap pipi kanan Priya.
Tidak lama kemudian, Archana kembali ke ruang tengah dan menemukan pemandangan itu di depan pintu kamar ibunya.
"Wah, ada apa ini? Priya menangisi pacarnya?" tanya Archana dengan nada mengejek.
Parvati terkejut. "Priya kecilku mempunyai kekasih?" tanyanya.
Priya membalikkan badannya, menghadap Archana, "Kau bicara apa, kakak? Aku tidak akan mendahului dirimu, kau tahu itu 'kan, huh?"
"Ya ya terserah kau saja. Baiklah, Ibu, biar kubawakan kopermu. Kita harus segera berangkat," ujar Archana sambil melangkah mendekati ibunya dan Priya. Ia mengambil alih gagang koper dari tangan Parvati dan menyeretnya ke luar rumah. Priya berjalan perlahan mengiringi langkah ibunya di belakang langkah cepat Archana.
***
Dalam penerbangan, mereka tidak banyak bicara. Archana memusatkan perhatiannya pada sebuah buku yang ia bawa dengan sesekali melempar pandangannya ke gumpalan awan di luar jendela pesawat. Priya memejamkan matanya dengan headphone yang menempel di telinganya, entah lagu apa yang ia dengarkan. Sementara Parvati mencoba tenang dengan membaca majalah yang tersedia di kursi penumpang.
Perlahan, Archana mengarahkan tangannya ke tangan ibunya. Dingin. Itulah yang ia rasakan. Archana menggenggam tangan Parvati. Keduanya menoleh dan melempar senyum. Parvati tahu putrinya ingin memastikan, maka ia menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. Setidaknya, ia memiliki kedua putrinya di sisinya. Archana menarik napas dan mengembuskannya pelan, lalu ia mengedipkan matanya seraya melepaskan genggaman tangannya dari Parvati. Ia kembali memfokuskan pandangannya pada barisan kata yang tertulis di buku bersampul biru dan putih itu.
Setelah tiba di bandara tujuan, mereka bergegas mengambil barang-barang dan menuju pintu keluar. Salah seorang dari kerumunan orang-orang yang menunggu di pintu keluar telihat mengangkat kertas karton berwarna putih dengan tulisan Ms. Archana Kapur. Archana memberi tahu ibunya dan Priya. Mereka sedikit mempercepat langkah menuju orang yang menjemput mereka.
"Selamat siang, Nyonya Parvati, Nona Archana, dan Nona Priya," sapa laki-laki muda dengan perawakan tinggi dan senyum yang menawan, yang ternyata sopir mereka selama di Shimla.
"Selamat siang, Sameer. Sendirian?" balas Archana. Sementara Parvati dan Priya hanya mengangguk dan tersenyum.
"Iya, Nona. Pegawai lain sedang memeriksa bungalow dan memastikan semuanya sudah siap sesuai yang Nona perintahkan," ujar Sameer.
Archana terkekeh pelan. "Aku meminta bantuan, bukan memerintahkan, Sam," katanya sambil tersenyum. "Kalau begitu, ayo pergi. Tolong bawakan barang ibu saja," lanjutnya sambil menoleh ke koper yang berdiri di samping Parvati.
"Baik," jawab Sameer sebelum ia memimpin mereka menuju mobil yang dibawanya ke bandara untuk menjemput ketiga wanita itu. Ia segera mengendarainya di jalan raya Shimla.
Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di bungalow dengan nuansa cokelat tua alami yang cukup besar dengan pekarangan yang luas. Archana dan Priya sengaja bersepakat untuk mengambil libur satu minggu penuh agar bisa pergi ke tempat ini bersama ibunya. Beberapa pegawai menyambut kedatangan mereka. Tiga orang pemuda membantu menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke ruang tengah bungalow itu, diikuti langkah Archana, Parvati, dan Priya.
"Kakak, yang mana kamarku?" tanya Priya. Wajahnya terlihat lelah setelah perjalanan yang cukup panjang. Dalam benaknya hanya ingin tidur dan merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.
"Dasar tukang tidur. Baru sampai, sudah menanyakan kamar," ejek Archana.
"Ah ya sudah, yang mana saja," sahut Priya dengan nada sebal sembari menyeret kopernya dan melangkah gontai menuju salah satu pintu kamar.
"Hey, itu kamar Ibu. Kamarmu yang sebelah kiri," seru Archana sambil terkekeh pelan. Parvati ikut tertawa karena tingkah kedua putrinya. Tanpa menjawab, Priya membelokkan arah kakinya ke kiri, menuju kamar yang dimaksud Archana.
"Kalau begitu, Ibu juga akan beristirahat sebentar. Apa rencanamu setelah ini?" ujar Parvati seraya menggenggam gagang kopernya dan bersiap menuju kamarnya.
Archana terlihat berpikir sejenak sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "Hmm, baru pukul tiga sore. Ibu mau minum teh nanti sore?"
"Boleh kalau itu rencanamu," jawab Parvati. Archana mendengus pelan, lalu mengantar ibunya ke kamar.
"Ibu, maaf kami sudah membuatmu pergi dengan pesawat untuk hal ini," ujar Archana ketika menghentikan langkahnya di depan pintu kamar ibunya. "Aku tidak ingin Ibu terus berkutik dalam rasa takut sejak kejadian itu. Aku tahu mungkin caraku salah dan tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tapi dengan langkah kecil yang salah ini, kuharap ketakutan Ibu perlahan menghilang," lanjutnya dengan sedikit candaan.
Parvati tersenyum, merapikan rambut Archana yang sebenarnya tidak berantakan, dan mengusap pipi putri sulungnya dengan lembut. "Tidak perlu meminta maaf, Archana. Ibu rasa, harusnya Ibu yang meminta maaf padamu dan Priya karena sudah membuat kalian khawatir. Memang tidak mudah menghilangkan trauma dan rasa takut. Tapi ini akan hilang seiring waktu nanti. Tentunya dengan bantuan dan dukungan putri-putri Ibu. Terima kasih sudah berusaha dan terima kasih untuk semua ini, Archana" kata Parvati.
"Kalau begitu, kita harus sering-sering berlibur, Ibu. Kita punya daftar tempat lain yang harus dikunjungi dan harus dengan pesawat," Archana terkikik dan memeluk Parvati erat. "Aku menyayangimu," tambahnya sebelum ia melepaskan pelukannya.
"Aku lebih menyayangimu," balas Parvati. "Sekarang kau juga harus istirahat. Kau pasti lelah 'kan?" Mereka saling melepas pelukan dan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...