Bab 16 - Sebuah Pesan

54 12 22
                                    

Arvind sudah meminta izin Archana untuk tinggal di rumah itu bersama kedua putrinya selama satu minggu ke depan. Sepeninggal Parvati, Archana dan Priya pasti akan sangat kesepian. Arvind menyadari mereka berdua membutuhkan dukungannya, meskipun ia selalu melakukan itu sejak dulu.

Aman baru saja ingin pamit untuk pulang, tapi Arvind menahannya dan mengajaknya ke halaman belakang, sementara Archana dan Priya masih sibuk merapikan rumah dan menyiapkan makan malam. Arvind mengarahkan Aman untuk duduk di sampingnya, di kursi taman yang panjang. Arvind menghela napas sebelum membuka percakapan. Ia bercerita bagaimana hidupnya sebelum bertemu Parvati, lalu bertemu wanita itu, menikahinya, memiliki dua putri cantik yang kini sudah dewasa, hingga perpisahan mereka. Ia juga menceritakan karakter setiap putrinya.

"Archana sepertinya tidak pernah jatuh cinta," lanjut Arvind. Aman hanya terdiam, sedikit terkejut. "Mungkin," pikir Aman setelah mendengar cukup banyak cerita dari Arvind mengenai keluarganya.

"Karena diriku, dia mungkin takut untuk menyimpan rasa untuk seorang laki-laki," Arvind menghela napas. Pandangannya lurus menatap halaman kosong di hadapannya yang hanya ditanami rumput dan beberapa semak belukar dengan potongan yang rapi. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang hangat menjadi saksi pembicaraan dua pria dewasa di sana.

"Selama ini, dia hanya menghabiskan waktu untuk belajar dan bekerja, serta berusaha membahagiakan Parvati dan Priya. Semoga ucapanku tidak menyinggung perasaanmu, Nak, tapi aku harus memberi tahu ini. Sorot mata Archana terlihat sangat berbeda ketika melihatmu. Aku memperhatikan sejak kau datang. Mungkin sebagian besar hidupnya tidak dihabiskan bersamaku, tapi aku bisa mengenali itu. Caranya memandangmu, seperti Parvati memandangku dulu, persis sekali."

Arvind menoleh, menggenggam tangan Aman dan tersenyum, "Kalau kau merasakannya, maka tolong jaga dia dan jangan melakukan hal buruk sepertiku."

Aman membalas tatapan Arvind yang penuh harap. Entah mengapa, jantungnya berdegup kencang. Ia sama sekali tidak mengerti. "Saya dan Archana, baru saja kenal. Kami baru bertemu sebanyak dua kali, dan tiga dengan sore ini."

Arvind tidak melepaskan senyum di bibirnya. "Hanya kau yang mengetahui perasaanmu. Mungkin tidak sekarang. Kuberi tahu satu hal lagi. Ada kemungkinan Archana mengetahui sesuatu tentang dirimu yang tidak kau ketahui, karena apapun yang dia lakukan pasti ada alasan di baliknya. Tidak akan ada orang yang memeluk orang asing seperti dia memelukmu, padahal kalian baru bertemu, benar 'kan? Kurasa semua orang seperti itu. Tapi Archana punya alasan yang jelas. Aku sangat mengenal putriku. Lalu, ada kemungkinan kau tidak bisa lari darinya. Tidak akan pernah bisa hingga akhirnya kau menyadarinya suatu hari nanti."

Aman terdiam, berusaha mencerna semua kata-kata yang dilontarkan Arvind. Pikirannya kosong, tapi jantungnya masih berdegup kencang. Tujuannya datang hanya untuk memenuhi undangan Archana, memberikan penghormatan, menyaksikan upacara, bertemu keluarganya dan meminta maaf atas apa yang terjadi. Namun ada hal-hal di luar ekspektasinya, dari pelukan Archana, sentuhannya, hingga kata-kata ayahnya. Tidak ada satu hal pun yang melintas di pikirannya untuk bereaksi, hingga Archana memecah keheningan mereka.

"Ayah, Aman. Makan malamnya sudah disiapkan." Archana mematung di bawah bingkai pintu kaca yang membatasi ruangan di dalam rumah dengan taman belakang.

Arvind bangkit dari kursi dan Aman mengikuti. Semakin mendekati tempat Archana berdiri, detak jantung Aman semakin cepat.

"Kalau begitu, saya pamit pulang," ujar Aman sedikit canggung.

"Kenapa terburu-buru? Makan malamlah bersama kami sebentar. Tidak boleh mubazir makanan di rumah ini. Bukankah begitu, Archana?" sela Arvind seraya memalingkan wajahnya pada Archana yang sedikit melamun, menerka-nerka apa yang terjadi di antara ayahnya dan Aman.

"Ah, iya," jawab Archana singkat. Ia mempersilakan Arvind dan Aman melangkah mendahuluinya, sementara ia memanggil Priya di kamarnya.

***

Langit mendung tanpa bintang menyelimuti kota Mumbai. Archana memandangi jendela kamarnya yang basah oleh rintik hujan yang mulai turun malam itu. Tangannya memegangi sebuah bingkai kecil berwarna putih. Ada kenangan bersama ibunya di sana. Ia sungguh tidak menyangka ibunya akan pergi secepat ini. Rasanya, ia tidak siap. Tidak akan pernah siap jauh dari ibunya. Tapi kenyataan memaksanya. Tiba-tiba, ia mengingat pesan sang ibu tentang gift yang dimilikinya. Ia berpikir apakah yang satu ini harus ia yakini atau setidaknya ia coba atau tidak. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Lamunannya terpecah ketika ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

"Archana, apa aku boleh masuk?"

"Silakan, Ayah, pintunya tidak dikunci." Mendengar itu, Arvind tersenyum. Putrinya sudah kembali menerimanya meskipun ia hanya akan tinggal di rumah itu beberapa hari. Ia masuk, melangkah mendekati Archana. Gadis itu menyambut ayahnya dengan senyuman.

"Boleh aku duduk?" tanya Arvind sambil memberikan secangkir teh pada Archana.

"Rumah ini pernah jadi rumahmu dan kamar ini Ayah yang siapkan, 'kan? Jadi kenapa tidak?" jawab Archana sedikit sarkastik.

Avind duduk di sisi Archana. "Kau masih marah padaku?"

Archana menggerakkan bahunya. "Aku tidak yakin. Ibu sudah menceritakan itu padaku dan Priya." Mata Archana kembali pada bingkai kecil di genggaman tangannya. Arvind mengikuti arah matanya dan tersenyum tipis.

"Aku berutang banyak padamu, Parvati. Putri-putri kita tumbuh seperti ini berkat dirimu."

"Bukankah sudah terlambat?"

"Ya, sudah terlambat. Aku minta maaf untuk itu." Keheningan menyelimuti ruangan itu.

Arvind meraih tangan Archana dan mengusapnya pelan. "Archana, sudah berapa lama kau mengenal Aman?" tanya Arvind.

Archana tersentak. Pertanyaan biasa yang sangat tiba-tiba dan tidak terduga. "Hmm, kurasa belum lama. Pertama kali kami bertemu di pesta teman, lalu di rumah sakit, dan tadi dia datang ke rumah. Ada apa, Ayah?"

Arvind mengangguk dan bergumam. "Tidak. Kukira sudah lama atau malah kalian sedang menjalin hubungan."

Archana mendecak pelan, "Bagaimana Ayah bisa berpikir seperti itu?"

"Ayah memperhatikanmu sejak dia datang. Pelukan spontan itu, sama sekali bukan pelukan yang diberikan seseorang kepada orang asing, terlebih seorang Archana. Tatapan matamu padanya persis ibumu ketika memandangku dulu." Arvind menyesap tehnya, sementara Archana terdiam dan mengalihkan pandangan dari ayahnya ke luar jendela kamarnya.

Archana menyesap tehnya sebelum menjawab. "Apa yang ingin kau tahu?"

"Aku hanya ingin memastikan bahwa putriku menemukan orang yang tepat. Siapapun yang mendapatkanmu nanti, aku tidak ingin laki-laki itu melakukan hal sama sepertiku, atau sejenisnya, atau bahkan lebih buruk," ujar Arvind dengan suara baritonnya yang lembut. Tangannya mengusap pipi Archana yang sedikit memerah.

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang