Bab 26 - Melekat

51 8 21
                                    

"Aku baik, Radha. Kau bagaimana?"

"Apa? Daftar oleh-oleh untukmu bertambah lagi?"

"Ya ya, baiklah. Jaga dirimu ya."

Aman menghela napas setelah mematikan teleponnya. Senyum simpulnya nampak menghiasi wajahnya bersama dengan lesung pipi yang menemaninya. Mendengar suara adiknya membuatnya merasa lebih baik. Pikirannya berkabut. Dua tahun sejak ia meminta Archana pergi. Sayangnya, wanita itu benar-benar pergi. Itu yang ia ketahui. Nyatanya tidak. Archana tidak benar-benar pergi. Ia kerap menghubungi Radha untuk mengetahui keadaan Aman.

Archana tidak pernah mendengar Radha menyampaikan kabar buruk tentang Aman. Laki-laki itu memang seringkali terlihat melamun. Tapi Radha menganggap itu adalah proses bagi Aman untuk menetralisir segala perasaannya akibat kejadian menyakitkan yang telah membuatnya merasa seperti ini. Aman seringkali merasa kosong. Tidak pernah sekali pun ia berhenti memikirkan Archana. Entah bagaimana bayangan gadis itu tidak pernah pergi meninggalkannya. Mungkin rasa bersalahnya pada Archana dan Priya masih membekas. Namun, siapa yang tahu perasaannya ketika ia meminta Archana untuk pergi? Tidak ada yang pernah menanyakan hal itu padanya, bahkan Radha. Hanya ia yang mengetahui pahitnya ketergantungan dengan orang yang kadang membuatnya sakit sendiri. Perasaan itu ternyata jauh lebih menyakitkan yang tidak pernah disadari sebelumnya oleh Aman. Terkadang, ia berpikir. "Ada apa denganku dan Archana? Kami hanya beberapa kali bertemu. Kenapa aku merasa terikat dengannya?"

Ia bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati jendela besar yang menghadap tepat ke taman kota. Sebuah rencana spontan muncul di kepala Aman untuk melakukan olahraga kecil di taman itu sore ini. Ia melihat arlojinya. Pukul setengah empat sore. Aman menarik dirinya dari sisi jendela besar itu. Ia mengganti bajunya dengan setelan jaket hitam dan celana olahraga hitam. Tidak lupa, ia mengenakan sepatu lari favoritnya.

Aman meninggalkan kamarnya dan mulai berlari kecil menuju taman kota yang bisa ditempuh hanya dengan dua puluh lima sampai tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Menurutnya, itu jarak yang lumayan. Tidak terlalu dekat, tidak juga terlalu jauh. Sangat cukup untuk siapa pun penghuni hotel yang ingin berolahraga atau sekadar menyegarkan pikiran.

Setibanya di taman, Aman duduk sejenak di salah satu kursi taman yang kosong, meluruskan kakinya dan mengatur napasnya. "Bodoh. Aku lupa membawa air minum," keluhnya pelan.

Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman hingga matanya tertuju pada sebuah kedai kecil. Ia pikir, mereka menjual air mineral, maka ia menghampiri kedai itu. Setelah berhasil mendapatkan apa yang dibutuhkan, Aman kembali ke taman dan melanjutkan kegiatan olahraganya. Tanpa terasa, senja mulai menyinsing. Aman kembali menempati kursi taman yang kosong dan mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

***

Dalam langkahnya kembali menuju hotel, Aman singgah ke sebuah kafe. Ia memesan segelas iced mocha espresso dan menempati kursi di tengah ruangan. Sambil menunggu namanya dipanggil untuk mengambil pesanannya, Aman sibuk berkutik pada ponselnya. Terlihat beberapa kali ia menempelkan ponsel itu pada daun telinganya dan menurunkannya sambil berdecak pelan. Ibu jarinya bergerak seperti sedang mengetik sebuah pesan di layar ponsel itu.

"Tuan Aman!" seru seorang barista memanggil namanya, menandakan kopi yang dipesannya sudah siap.

Aman mendongak dari ponselnya dan bergegas menuju meja kasir untuk mengambil pesanannya. Ia sedikit terkejut melihat sebuah donat dengan taburan gula tersaji di samping es kopinya.

"Ini?" tanyanya singkat.

"Oh, ini memang sudah satu paket bersama dengan kopi yang Anda pesan, Tuan," jelas sang barista dengan tersenyum ramah. Mendengar itu, Aman menaikkan alisnya dan mengucapkan terima kasih sebelum kembali duduk ke kursinya.

Dddrrrttt dddrrrttt!

Ponselnya bergetar tepat setelah Aman menyesap minumannya. Ia melirik layar ponsel itu dan melihat nama Radha di sana. Ia lantas menggeser lambang telepon berwarna hijau.

"Kenapa kau tidak angkat teleponku?" ujarnya tanpa salam sapaan terlebih dulu.

"Memangnya salah, kalau aku menghubungi adikku lagi meskipun tadi kau sudah meneleponku?" cetusnya.

"Ya sudah, kalau begitu, tutup saja teleponnya."

"Apa lagi?"

"Sungguh? Siapa yang memberitahumu?"

"Archana?"

Bukan berita mengejutkan bagi Aman, karena sejak Archana muncul di hadapan dirinya, ia merasa wanita itu tidak pernah pergi. Tidak sehari bahkan sedetik pun.

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang