Aman menapakkan kakinya di halaman belakang rumahnya. Tanpa alas kaki, ia melangkah di atas rerumputan yang terasa menyegarkan, sebab butiran embun pagi belum sepenuhnya meresap atau hilang dari permukaan itu meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan tepat. Ia menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Halo lagi, Mumbai," bisiknya.
"Kakak, selamat datang kembali," sapa Radha dengan penuh kegembiraan. Aman menoleh dan menemukan adiknya yang sudah rapi dengan blouse dan celana panjang putihnya dilengkapi dengan blazer berwarna kuning cerah favoritnya. Radha berlari kecil dan memeluk Aman.
"Rumahku memang di sini, kenapa 'selamat datang kembali'?" balas Aman setelah mengecup kepala Radha. "Aku merindukanmu," lanjutnya.
"Apa? Kenapa? Tidak biasanya," sela Radha ketika melepaskan pelukannya. Tepat pada saat itu, Aman mengeluarkan senyum sumringah, lengkap dengan lesung pipi yang membingkainya. Radha sadar akan hal itu. Senyuman lepas, paling tulus dan bahagia yang ia lihat di wajah kakaknya dalam dua tahun terakhir.
Radha mengeluarkan raut wajah mengejeknya setelah ia melihat senyuman itu. "Ah, bahagia sekali sepertinya. Ada apa?"
Aman mendengus pelan. "Memangnya tidak boleh kalau aku merindukan adikku?"
"Pertanyaan itu sudah tidak perlu dijawab. Aku ingin tahu alasan di balik senyum sumringahmu ini. Ayo cepat katakan."
Aman menangkup pipi Radha. "Kau harus pergi ke kelas menarimu, 'kan? Pergilah. Akan kuceritakan nanti."
"Ck. Aku bisa pergi nanti-nanti. Kelas itu milikku. Lagipula, hari ini aku hanya akan mengawasi mereka di sana. Jadi, bisa sedikit lebih santai," gerutu Radha seraya melepaskan tangan Aman dari wajahnya.
"Ah tidak-tidak. Jadilah orang yang disiplin dan tepat waktu. Sana, pergi."
"Ya ya, baiklah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa!" seru Radha sembelum membalikkan
tubuhnya dan pergi meninggalkan Aman.
Sementara pria itu, masih berdiri di atas rerumputan dan menikmati sisa udara pagi. pikirannya melayang entah ke mana hingga senyumnya tidak kunjung hilang dari wajahnya.
"Aku sudah menemukan bagian puzzle-ku yang hilang itu, Radha. Dan aku tidak akan
membiarkannya lepas lagi," bisiknya pelan.
***
Akhir pekan ini, Archana memutuskan untuk tinggal di rumah. Ia menghabiskan waktunya untuk bersantai dan maraton beberapa film favoritnya.
"Film apa?" tanya Priya ketika ia keluar dari kamarnya dan melihat kakaknya sudah bersantai di sofa sembari memandangi layar kaca yang berjarak beberapa meter dari sofa.
"Hmm? Film favorit Ibu," jawab Archana singkat.
Priya menghampiri Archana dan duduk di atas karpet, menyandarkan punggungnya ke sofa yang ditempati Archana. "Oh, sudah lama sekali tidak menonton film ini," katanya. Archana hanya bergumam. Mereka menikmati film sambil berbincang ringan.
Pada menit ke-60 film itu diputar, keroncong Archana mulai berbunyi. "Ups. Aku lapar," ujarnya sambil mengangkah ponselnya. "Kau ingin pesan apa? Aku mau beli burger dan soda, paket besar."
Priya terkekeh. "Samakan denganmu saja, Kak." Archana terlihat meng-klik-klik layar gawainya sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke televisi.
Dua puluh lima menit kemudian, terdengar ketukan pintu. Archana bergegas bangkit dan pergi untuk membukakan pintu. Tidak berselang lama, ia kembali ke ruang tengah sambil membawa membawa sebuah buket bunga salvia biru*) dikombinasikan dengan bunga tulip merah**) dalam tabung silinder berwarna putih yang dilingkari pita berwarna merah. Priya yang sudah memposisikan duduknya dengan benar, kembali beringsut setelah melihat Archana datang membawa sesuatu yang tidak mereka tunggu.
"Kukira makanan kita," ujar gadis itu.
Archana menggerakkan bahunya. "Kukira juga begitu. Tapi yaaa, bade bade deshon mein aisi choti-choti baatein hoti rehti hain," balasnya sembari menempatkan dirinya duduk di sofa dan meletakkan buket bunga itu di meja.
"Dari siapa?" tanya Priya. Archana menggeleng. Tangannya menjulur mengambil sebuah kartu yang terselip di antara bunga-bunga yang cantik itu. Ia membacanya dalam hati. Pipinya bersemu merah, kemudian seutas senyum terlukis di wajahnya.
Memorinya terbang ke hari saat ia dan Aman tidak sengaja bertemu kembali di San Fransisco waktu itu. Archana ingat betul bagaimana dirinya merasakan hal yang sama, menemukan hal yang sama sejak pertemuan pertama mereka. Ia ingat sekali rasa nyaman yang ia rasakan ketika Aman berada di dekatnya
"Aman," jawabnya singkat. Priya segera menoleh, sedikit terkejut. Tidak menyangka kejadian ini baru saja terjadi.
"Ya sudah, Kak. Sudah waktunya," kata Priya.
Archana melirik Priya. "Sudah waktunya?"
"Bisa tidak, jangan bertingkah bodoh?" Mereka berdua terkekeh.
***
"Radha, maaf mengganggu. Apa aku boleh meminta kontak Aman?"
Radha tersenyum membaca pesan dari Archana. "Wah, ada apa ini?" gumamnya. Tanpa menunggu lebih lama, Radha segera mengirimkan kontak Aman kepada Archana, tentu saja setelah bertanya pada Aman terlebih dahulu.
"Hai, ini Archana. Terima kasih atas kiriman bunganya. Aku juga sudah memecahkan teka-tekimu, lalu aku harus apa?"
Sudut-sudut bibir Aman terlihat naik hingga membentuk lengkungan senyum di bibirnya. "Cepat sekali dia memecahkan teka-tekiku," pikirnya.
"Dengan senang hati. Simpan saja jawabanmu. Beri tahu aku ketika kita bertemu lagi nanti."
Kini, giliran Archana yang tersenyum seperti orang bodoh. Menggigit bibir bawahnya dan kemerahan di pipinya tidak kunjung menghilang.
•
•
•
•
•
Keterangan:
*) Salvia biru adalah bunga untuk memberi tahu bahwa "I think of you" kepada penerima bunga
**) Tulip merah melambangkan gairah dan menyatakan perasaan cinta
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...