Bab 8 - Terjebak

76 11 25
                                    

Archana memarkirkan mobilnya di basement sebuah hotel. Sebelum turun dari mobilnya, Archana bercermin, memastikan penampilannya cukup baik. Ia memakai gaun pendek berwarna biru tua dengan lengan dress yang menempel di kedua lengannya, membiarkan bahunya terekspos. Rambutnya dibuat sedikit keriting menggantung dan dibiarkan jatuh menyusuri bahu kanannya. Kemudian, ia meraih topeng khas masquerade-nya dan memasang topeng hitam itu di matanya. Archana menghela napas dan meninggalkan mobilnya. Suara sepatu heels peraknya terdengar beradu dengan lantai lobby ketika ia menuju lift utama yang akan membawanya ke lantai yang dituju.

"Tunggu!" seru seseorang ketika Archana hampir menutup pintu lift.

Archana mengurungkan niatnya dan mengulurkan lehernya dan melihat seorang pria dengan setelan jas dan celana panjang hitam serta kemeja putih yang kacing atasnya dibiarkan terbuka, sedikit berlari ke arahnya. Ia juga mengenakan topeng serupa, persis seperti yang Archana kenakan, berwarna hitam, hanya saja ukurannya lebih besar karena topeng laki-laki. Archana membiarkan pria itu bergabung dengannya di dalam lift.

"Terima kasih," ujar pria itu sambil terengah-engah. Mendengar suaranya dari jarak yang begitu dekat, Archana tertegun. Tipe suara pria yang disukai Archana. Tidak lembut, tetapi juga tidak begitu berat. Archana tersenyum pada pria itu tanpa berpikir lebih jauh lagi.

"Lantai berapa?" tanya Archana, meskipun sebenarnya ia mengira bahwa mereka memiliki tujuan yang sama. Pesta topeng di sebuah ballroom yang terletak di lantai sembilan, sesuai undangan yang ia terima. Benar saja. Pria itu menjawab lantai tujuannya. Archana segera menekan tombol angka 9, dan pintu lift pun menutup.

"Kau juga ke sana?" tanya pria itu. Archana hanya berdeham menjawab pertanyaannya.

"Anyway, aku Aman," ujar pria itu, memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.

"Kukira, ada aturan tidak boleh berkenalan dalam pesta ini," ujar Archana sambil menjabat tangan Aman.

Aman terkekeh, "Kita belum masuk ke ruang pesta, 'kan?"

Archana berdecak pelan, "Ah, benar juga. Aku Archana."

"Nama yang bagus."

"Terima kasih."

Tautan tangan mereka merenggang hingga tidak saling menggenggam lagi. Keduanya terdiam. Archana berdiri di salah satu sudut belakang lift, sementara Aman berdiri di sudut lainnya. Aman terlihat memejamkan matanya sembari mengatur napasnya. Ia takut akan ruang sempit. Sedangkan Archana hanya menatap pintu lift, tapi tidak jarang bola matanya melirik Aman. Pria itu mencuri perhatiannya sejak ia mendengar suaranya.

"Aman? Kau baik-baik saja?" tanya Archana setelah melihat Aman tidak kunjung membuka matanya.

"Ya... Uhm, tidak. Aku takut ruang sempit," jawab Aman seraya membuta matanya perlahan. "Itulah sebabnya aku memintamu menunggu tadi. Setidaknya, aku tidak sendirian."

Archana berdeham, "Oh, maaf. Syukurlah, kau tidak sendirian."

Lift yang mereka tumpangi terus bergerak naik. Layar digital yang menempel di sisi pintu terus menunjukkan perubahan angka sesuai lantai yang mereka lewati.

Lantai 4...

Lantai 5...

Tiba-tiba, terdengar bunyi dug dan lift tiba-tiba terhenti. Layar digital di hadapan mereka tidak lagi menyalakan lampu berwarna merah yang membentuk angka. Mereka berdua terkejut dan bingung. Archana memutarkan pandangan ke sekeliling lift. Wajah Aman terlihat pucat. Archana berusaha untuk tidak panik, karena ia tahu kalau dirinya panik, pria yang bersamanya akan menjadi jauh lebih panik karena rasa takutnya akan semakin kuat.

"Ya Tuhan, ada apa ini?" suara Aman terdengar bergetar. Ia semakin merapatkan tubuhnya dengan dinding lift yang dingin seraya melangkah pelan mendekati Archana. Namun, matanya terjaga.

"Kurasa lift-nya macet," ujar Archana. Ia melihat Aman yang sudah pucat dan mulai berkeringat. Archana segera menekan tombol darurat yang berada di barisan-barisan tombol angka itu sebelum ia menenangkan Aman.

"Aman, aku sudah menekan tombol daruratnya. Semoga bantuan segera datang atau setidaknya ada perbaikan teknis. Tenanglah," ujarnya dengan lembut sambil mengusap bahu Aman dan menyeka keringat di dahinya.

Lima menit, sepuluh menit, tidak ada tanda-tanda datangnya pertolongan. Archana mulai sedikit panik. Tangannya dingin. Ia tidak kehilangan akal. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi temannya Dev, si pemilik pesta. Sayangnya, tidak ada sinyal di dalam lift. Aman mulai beringsut lemas ke lantai. Archana semakin cemas. Ia hendak menekan tombol darurat lagi, namun Aman menahannya.

"Jangan tinggalkan aku, Archana," ujarnya dengan napas yang mulai tersenggal. Melihat hal itu, Archana pikir sebaiknya Aman melepaskan topengnya. Ia berlutut di hadapan Aman.

"Maaf," bisik Archana. Tangannya menjulur ke belakang kepala Aman dan melepaskan ikatan tali topengnya.

"Jangan tinggalkan aku," lagi-lagi Aman memohon.

"Tidak, Aman. Aku hanya ingin menekan tombolnya lagi. Ini sudah lebih dari sepuluh menit, kalau terlalu lama kita bisa kehabisan oksigen." Archana berdiri dan menekan tombol darurat lagi. Ia kembali ke hadapan Aman, membiarkan pria itu menggenggam satu tangannya. Archana memeriksa ponselnya apakah ada sinyal satu saja agar ia bisa menghubungi Dev. Namun nihil. Ia meletakkan kembali ponselnya. Aman semakin lemas. Archana melepaskan tangannya dari genggaman Aman dan menangkup wajah Aman.

"Aman, tenanglah. Aman, tetaplah bersamaku," ujarnya. Mendengar ucapan Archana, Aman mengangguk lemah. Matanya menatap Archana, memastikan wanita itu benar-benar tidak meninggalkannya terjebak sendirian di dalam lift. Tidak sengaja, mata mereka bertemu. Archana melepaskan tangannya dari wajah Aman secara perlahan.

"Apa yang baru saja kulihat?" pikirnya. Namun ia cepat-cepat menjauhkan pikiran itu. Keselamatan mereka berdua yang terpenting sekarang. Aman terus menggenggam tangan Archana, kini kedua tangannya. Tangan Aman terasa lebih dingin daripada tangan Archana. Keringat di dahinya semakin deras. Lama kelamaan, pandangan Aman kabur hingga akhirnya ia pingsan.

Archana bingung. Perasaan khawatir, cemas, dan takut bercampur menjadi satu dalam dirinya. Ia melepaskan topengnya juga yang sudah membuatnya cukup sesak. Lima menit kemudian, layar digital di dinding lift itu berdenting dan kembali menunjukkan angka digitalnya. Lift perlahan bergerak naik. Archana bernapas lega. Namun, ia khawatir dengan keadaan Aman yang terkulai lemah di sisinya. Ia terus menepuk-nepuk pipi Aman, tapi tidak ada respons.

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang