"Selamat pagi, Kakak," sapa Radha dengan ceria ketika menemui Aman di ruang makan. Hari ini, keduanya memutuskan untuk tidak pergi meninggalkan rumah, karena harus merapikan sisa pesta semalam.
Aman segera meletakkan ponselnya dengan posisi layar di bawah, seperti menutupi sesuatu. Ia menjawab sapaan Radha dan bergegas mengambil selembar roti yang tersaji di atas piring lebar. Radha bingung melihat gelagat kakaknya, tapi ia pura-pura tidak tahu dan duduk di kursi makannya.
"Semalam bahas apa dengan Archana?" tanya Radha dengan ekspresi polosnya seraya menuang air mineral hingga menyisakan tiga senti dari mulut gelas. Pertanyaan itu cukup mengejutkan Aman. Namun, ia berusaha tenang agar Radha tidak curiga.
"Bahas apa? Aku baru pertama kali bertemu dengannya, itupun karena tidak sengaja bertabrakan," jawab Aman sambil menggigit roti tawarnya yang tidak ia beri topping. Radha meneguk airnya dan mengangkat kedua alisnya. Ia meletakkan kembali gelasnya di atas meja dan mengambil dua lembar roti tawar. Satu lembar diolesi selai cokelat, sementara lembar lain diolesi selai kacang. Radha menyatukan kedua lembar roti itu.
"Bukan itu maksudku. Tapi ketika kalian di taman belakang," ujar Radha sebelum mengigit sandwich manisnya. Matanya membulat menunggu jawaban kakaknya. Pipinya terlihat bergerak karena mengunyah roti.
Aman tersentak. Wajahnya memerah. "Kau melihatku?" Radha mengangguk.
"Kenapa tidak datangi aku?" tanya Aman dengan nada suara yang sedikit marah, tapi masih bisa ia tahan.
Radha terkejut mendengarnya. "Aku tidak mau mengganggu. Lagipula, Archana memang temanku yang pernah menyukaimu dulu. Kau pun terlihat menyukainya. Tatapanmu sangat jujur. Jadi kubiarkan saja kalian bicara. Lalu, kenapa kau marah? Kalau sudah memantapkan hatimu padanya sejak pertemuan pertama, aku tidak perlu repot mencari wanita baik untukmu. Aku tahu Archana. Dia jauh lebih baik, bahkan dari semua wanita yang pernah kau kencani."
Aman menghela napas panjang. "Radha, kau ini bicara apa, huh? Aku tidak akan keberatan kalau saja kau datang atau setidaknya memanggilku, atau memanggilnya. Aku tidak bisa bersamanya. Aku tidak ingin bersamanya. Aku memintanya pergi, tapi dia tetap di sana, sampai akhirnya dia benar-benar pergi."
Radha menatap Aman dengan tatapan lembut. "Kau memintanya pergi? Kenapa? Dia melakukan kesalahan padamu?" Aman menggelengkan kepalanya. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum memangkunya menunduk di atas meja makan. Radha bingung dan menjadi khawatir. Mereka berada dalam keheningan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Radha membuka suaranya lagi.
"Kakak?"
Aman mendongak, melihat adiknya yang duduk tidak jauh dari sisinya. "Bukan dia yang berbuat salah, Radha, tapi aku. Aku. Kau ingat ketika dia kehilangan ibunya? Itu karena diriku. Lagi-lagi aku tidak berhasil menyelamatkan seseorang. Setelah Ayah, lalu Nyonya Parvati. Euh, maksudku, ibunya Archana. Aku merasa bersalah. Sangat merasa bersalah sampai aku tidak ingin menemuinya. Namun, bayangannya sering memenuhi pikiranku, seperti tidak pernah pergi," ujarnya panjang lebar.
Radha terkejut. Ia baru mengetahui tentang ini. Tentang kematian Bibi Parvatinya. Namun, Radha berusaha untuk tenang. Ia tidak mau kakaknya semakin terpuruk karena melihatnya panik, tegang, bahkan sedih mendengar kisahnya. Radha tidak bisa berkata-kata. Aman menyimpan semuanya sendirian. Radha hanya menggenggam tangan Aman dan mengusapnya pelan, melemparkan senyuman indahnya yang kali ini bukan senyuman yang lebar seperti biasa. Ada rasa tidak enak dalam hatinya karena ia baru mengetahui ini beberapa waktu kemudian. Ditambah lagi, mengingat ia tidak bisa datang ke rumah Archana untuk menyampaikan belasungkawa dan menemani sahabatnya pada hari itu.
"Hmm, Kakak. Apa aku masih boleh tanya tentang kejadian semalam?" tanya Radha dengan hati-hati. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Aman yang saat ini terlihat sedang tidak nyaman. Mendengar itu, Aman hanya mengangguk.
"Tadi katamu, kau menyuruhnya pergi dan dia benar-benar pergi. Apa dia bilang sesuatu sebelum meninggalkanmu?" selidik Radha dengan raut wajah yang tenang.
Aman tahu adiknya ingin mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dengan Archana semalam. Namun, ia merasa bahwa Radha tidak perlu mengetahui semuanya, sehingga ia hanya menjawab pertanyaan Radha tanpa melebarkan cerita ke sesuatu yang tidak ditanyakan. Aman memberi tahu Radha bahwa Archana hanya menuruti perkataannya. Radha tidak terkejut ataupun heran. Ia sangat mengenal Archana. Wanita itu memang sangat ahli dalam memahami orang lain.
"Hanya itu?" lanjut Radha.
Aman mengangguk ragu sebelum memberikan jawaban. "Tapi dia menangis...sepertinya. Aku tidak tahu, tapi kurasa ya dia menangis, kemudian dia pergi."
"Archana menangis? Tidak biasanya," gumam Radha.
"Bukankah itu hal yang wajar? Ia juga menangis waktu ibunya meninggal," sela Aman.
Radha mendengus pelan. "Kau ini bodoh atau apa? Hampir semua orang menangis kalau orangtuanya meninggal. Tapi di sini kita membahas Archana yang menangis tadi malam saat dia bersamamu. Ah tidak, aku tidak menyalahkanmu. Hanya terheran, tidak biasanya Archana menangisi laki-laki."
Mereka kembali terdiam. Aman mengambil gelas dari atas nampan di tengah meja dan mengisinya dengan air mineral. "Aku yakin, pasti ada sesuatu. Tapi aku tidak boleh menyalahkan kakak. Aku tidak mengetahui apapun yang terjadi di antara mereka semalam," pikir Radha. "Kalau aku ingin mereka bersama, aku harus mencari tahu tentang ini."
"Lalu, apa yang terjadi sebelum kau memintanya pergi?" Radha membulatkan matanya. Ia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di antara mereka. Rasa-rasa ingin menjadi cupid bagi kakak dan sahabatnya itu perlahan bergejolak dalam dirinya.
Aman memicingkan matanya. Ia menerka-nerka maksud Radha di balik pertanyaan-pertanyaannya tentang malam itu. "Untuk apa kau menanyakan itu?"
"Untuk mencari tahu dan menentukan apa yang harus kulakukan untuk menyatukan kalian," ejek Radha sambil terkikik. Aman terdiam. Entah itu kesungguhan Radha atau ia hanya bercanda. Namun, melihat senyum dan mendengar tawa kecil adiknya, sedikit membuat Aman merasa lebih baik hingga ia ikut tersenyum.
Radha mencubit pipi Aman tepat di lesung pipinya. "Ini baru kakakku, Aman Srivastava. Dokter Aman Srivastava."
"Radha... Bagaimana kalau aku tidak kembali ke ruang terkutuk itu lagi untuk selamanya?" tanya Aman. Senyumnya perlahan meredup.
Radha berpikir sejenak sebelum memberikan tanggapannya. "Kakak sudah memikirkannya baik-baik?"
Aman tersenyum kecut. "Tidak perlu dipikirkan lebih lama lagi. Dua orang kehilangan hidupnya karena diriku dan kini aku hidup dalam rasa sakit dan rasa bersalah yang lebih kuat dari pertimbangan apapun. Sudah cukup."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fiksi Penggemar[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...