Bab 28 - Lampu Hijau

59 8 31
                                    

Archana melewati perjalanan yang cukup panjang dari San Fransisco kembali ke India. Ia mendarat di bandara Chhatrapati Shivaji Maharaj pukul empat lebih tiga belas menit sore hari. Ia meminta sopirnya, Rakesh, untuk menjemputnya, karena Priya sangat sibuk hari itu. Archana dengan kaus dan celana jeans panjang berwarna hitam dilengkapi dengan jaket hijau army dan kacamata hitamnya terlihat menyeret kopernya melangkah melewati pintu keluar. Ia mengedarkan pandangannya hingga menemukan Rakesh yang berdiri di dekat mobil Audi birunya.

"Hai, Rakesh. Bagaimana kabarmu?" tanya Archana dengan ramah sembari menyerahkan kopernya kepada Rakesh untuk dimasukkan ke dalam mobil.

Rakesh tersenyum. "Saya baik, Nona," katanya. Archana ikut tersenyum setelah mendengar jawaban Rakesh dan segera memasuki mobilnya.

"Bagaimana hari-hari Anda di sana, Nona?" tanya Rakesh sembari memasang sabuk pengamannya dan bersiap mengendarai mobil.

"Ya, melelahkan. Tapi juga cukup menyenangkan." Rakesh mendengarkan sambil sesekali melirik Archana melalui cermin. Nona rumah itu sedang sibuk memperhatikan jalanan yang lumayan ramai. Bukan Mumbai kalau jalan rayanya sepi.

Perjalanan membelah kota Mumbai diisi dengan berbagai pertanyaan dan jawaban yang terjadi antara Archana dan Rakesh. Sepuluh hari ia meninggalkan kediamannya dan Priya, Archana ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Syukurlah, Rakesh menjawab dan menceritakan sesuai dengan yang Archana harapkan, meskipun ada beberapa kekacauan kecil yang tidak terduga. Anjing tetangga sebelah buang air besar di depan pintu gerbang, misalnya. Cerita yang satu itu membuat Archana tertawa.

"Tidak biasanya anjing lucu itu buang air sembarangan," ujar Archana.

***

"Priya."

"Tidak dikunci, kak, masuk saja."

Sudah mendapat izin dari adiknya, Archana bergegas masuk ke kamar Priya dan menghambur ke arah Priya yang sedang merapikan tempat tidurnya.

"Aku merindukanmu, adik kecil!" seru Archana sambil memeluk Priya.

"Apa-apaan ini?" sela Priya, merasa terganggu.

Archana melepaskan pelukannya dan melemparkan tubuhnya ke atas ranjang Priya yang baru saja dirapikan. Kebiasaan. "Aku bermalam di sini ya? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu."

"Termasuk tentang Kak Aman?" selidik Priya dengan dahinya yang sedikit berkerut, sementara tangannya terlipat di depan dadanya. Pertanyaan Priya membuat Archana terkejut. Pun dengan sebutan 'Kak' yang mengiringi nama Aman keluar dari mulut Priya. Ia tidak menyangka Priya akan menyambutnya dengan pertanyaan itu. Keceriaan di wajahnya memudar.

"Ayah sudah bicara padamu?"

Priya mengangguk. Ia melangkah gontai dan memposisikan dirinya di samping Archana sambil mengangkat ponselnya. Archana bingung, apakah ia harus melanjutkan pembahasan ini atau tidak. Sebelum ia berkata lebih banyak, Priya lebih dulu membuka suara.

"Sebelum Ayah bicara padaku, aku sudah memahami semuanya. I'm healed because the past is in the past, Kak. Aku benci melihatmu berpura-pura menyibukkan diri, membuat dirimu jauh lebih sibuk dari biasanya hanya untuk mengalihkan pikiranmu darinya. Salah satu tujuanmu pergi ke San Fransisco kemarin juga untuk itu, 'kan?"

Archana menatap langit-langit kamar Priya dalam diam sambil mendengarkan adiknya. Ia pikir, kata-kata Priya ada benarnya. Dua tahun belakangan ini memang terasa cukup menguras tenaga dan emosinya, karena ia memaksa dirinya untuk lebih sibuk agar semua pikiran tentang Aman bisa teralihkan.

"Aku bertemu Aman di San Fransisco," ujar Archana datar.

Priya sedikit terkejut. Ia mengunci layar ponselnya dan meletakan gawai itu di atas nakas. "Bersama Kak Radha?" tanyanya, memutar tubuhnya menghadap Archana.

Archana menggeleng. "Hanya kami berdua. Radha tidak memberitahuku tentang itu."

Priya menghela napas pelan. "Lalu?"

"Kami berbincang sejenak sebelum berpisah kembali. Dia hanya berlibur di sana. Penerbangannya kembali ke India hanya selisih satu hari denganku."

"Tidak ada yang terjadi?"

Archana tercengang. "Apa maksudmu?"

"Maksudku, kalian bertukar nomor ponsel atau apa? Memangnya kau berpikir apa, Kak?" Priya sedikit terkekeh.

"Oh, tidak. Tidak sempat bertukar nomor ponsel."

"Huh? Yang benar saja," sahut Priya ketus.

Archana menatap Priya sedikit tajam. "Kau ini kenapa? Sikapmu membuatku bingung. Dulu kau menentang, sekarang seakan kau ingin aku bersamanya."

Priya berdecak. "Kakak, kau tahu? Mungkin ada makna tertentu dari kejadian ini."

Archana terbelalak. "Maksud tertentu? Apa?" pikirnya, tapi bibirnya terkunci. Sorot matanya jelas bertanya-tanya dan mengharapkan jawaban dari Priya, apa yang ia maksud 'makna tertentu' itu.

"Ish, dasar bodoh," cibir Priya. Kemudian, ia menjelaskan maksudnya yang dikaitkan dengan perkataan Archana sewaktu hubungan mereka sedikit retak karena hal ini. Ya, Archana melihat dirinya di dalam hidup Aman. Dia juga memahami kondisi Aman yang kala itu butuh waktu untuk dirinya sendiri, untuk tidak melihat Archana hingga lukanya sembuh, setidaknya dapat dikontrol. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Hampir tidak ada satu hari pun Archana tidak menghubungi Radha untuk mengetahui keadaan Aman. Priya sudah memahami semuanya.

"Sekarang, jangan memikirkan aku lagi, Kak. Kalau kau percaya pada apa yang kau lihat, kalau kau percaya itu adalah kebahagiaanmu, kau tidak perlu lagi cemaskan aku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Dan aku minta maaf, karena sudah egois," ujar Priya. Tatapannya begitu lembut. Tidak ada lagi nada suaranya yang dingin. Senyumannya mengembang, membuat Archana tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk tetap diam. Ia ikut tersenyum dan berterima kasih kepada Priya, untuk segalanya.

"Cepatlah menikah, agar aku bisa segera meresmikan hubunganku dengan kekasihku!" kata Priya tiba-tiba, setelah menyadari mereka berada dalam situasi yang dramatis selama beberapa menit dan itu memuakkan baginya. Archana terkejut dengan ucapan adiknya yang satu itu. matanya membulat sambil mendorong pelan kening Priya.

"Kau pikir menikah itu perkara mudah, huh? Lagipula, sejak kapan kau punya kekasih? Kenapa tidak memberitahuku?" Priya hanya terkikik, karena merasa menang setelah mengejek dan menipu kakaknya sendiri.

THE FATE (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang