"Apa?"
"Ya sudah, aku ke sana sekarang."
Archana memasang kacamata hitam di wajahnya dan beranjak dari kursinya. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya yang terparkir di halaman luas. Beberapa warga sekolah menyapanya, namun ia hanya mengangguk atau tersenyum sebagai balasan. Ia menginjak pedal gas hingga mobilnya melesat cukup cepat. Ia sudah mencoba menghubungi Priya berkali-kali, tapi tidak ada satu pun yang terjawab.
"Ah, macet!" serunya kesal sambil tetap berusaha menghubungi adiknya. Untunglah kali ini ada jawaban.
"Priya, bagaimana?"
"Aku sedang dalam perjalanan. Macet sekali."
"Bagaimana aku bisa tenang, bodoh?"
"Ya, baiklah. Terima kasih. Kau, jaga dirimu."
***
Archana berlari kecil di sepanjang lorong rumah sakit. Ia memperlambat langkahnya ketika melihat Prithvi dan Rakesh, salah dua pekerja di rumah mereka berdiri di depan sebuah ruangan. Archana menghentikan langkahnya di hadapan Priya yang duduk di kursi tunggu dengan raut wajah tegang. Lampu berwarna merah yang menempel beberapa senti di atas pintu ruangan itu masih menyala, menandakan proses medis yang sedang dilakukan di dalamnya masih berlangsung. Archana menyapa adiknya dengan menyentuh bahunya dan membisikkan namanya. Ia menempati ruang kosong di sisi Priya seraya memberikan pelukan hangat. Ia tidak menanyakan apa yang terjadi, meskipun dirinya sangat ingin tahu hingga Priya membuka suara.
"Aku menemukan Ibu pingsan di depan tangga."
Sebelum Priya melanjutkan ceritanya, lampu merah itu mati dan seorang dokter keluar dari balik pintu seraya menurunkan maskernya. Archana dan Priya bergegas bangkit dan menemui dokter itu. Archana sedikit terkejut melihat Aman di balik masker itu. Keningnya dibanjiri keringat dan wajahnya pucat. Begitu pun Aman. Benaknya terus bertanya-tanya apakah wanita yang matanya dipenuhi kristal bening ini benar-benar Archana atau bukan.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan telah memanggilnya untuk pulang. Waktu kematian pukul 11.49," ujar Aman dengan nada suara datar. Belum sempat Archana atau Priya membalas kata-katanya, Aman melanjutkan, "Beliau sedang diurus oleh tim medis, selebihnya akan diserahkan kepada keluarga."
Archana merangkul bahu Priya. Ia harus kuat. Mereka harus kuat untuk satu sama lain. Priya memeluk Archana dengan erat dan mengeluarkan seluruh air matanya di bahu Archana. Begitu pun Archana, meskipun tangisannya tidak seperti Priya. Aman tidak kuat melihat pemandangan itu. Rasa ingin memeluk Archana dan Priya bergemuruh dalam dirinya. Namun, ia hanya menyentuh bahu Archana sebelum pamit undur diri.
***
"Bodoh sekali, Aman. Tidak seharusnya kau melakukan ini. Lihat apa hasilnya? Kau membunuh ibu dari gadis-gadis malang itu. Ibu dari wanita yang telah membuatmu merasa jauh lebih baik Tidakkah satu kegagalan cukup menyakitkan bagimu?"
"Tidak apa-apa, Aman. Hidup dan mati setiap makhluk hidup berada di tangan Tuhan. Tidak perlu menyalahkan dirimu seperti itu. Semua sudah diatur seperti ini."
"Jangan lagi gunakan tanganmu untuk memisahkan jiwa dan raga seseorang, Aman. Sudah cukup. Jangan lagi."
"Itu hanya ketakutanmu, Aman. Kalau situasinya genting, kau harus bergerak. Bukankah itu tujuanmu memilih profesi ini?"
Aman duduk sendirian di dalam ruang kerjanya yang dingin. Pikirannya kacau dalam kesunyian yang memilukan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya sembab karena mengingat kejadian menyakitkan yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, mengingat bagaimana kejadian itu baru saja kembali terulang. Pertama kalinya ia kembali ke ruangan terkutuk itu setelah menjauhinya dan lagi-lagi ia mengalami hal yang sama. Ia merasa ingin merutuki dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, terdengar suara pintu diketuk dan perlahan terbuka. Sebelum mendapatkan respons, Archana dengan sengaja melangkahkan kakinya masuk ke ruang kerja Aman tanpa keraguan.
"Aman," sapa Archana dengan suara yang yang bergetar.
Aman mengenali suara itu. Ia mengusap wajahnya dan berpaling, meminta waktu sebentar untuk ke kamar mandi. "Untuk apa dia datang?" pikirnya setelah membasuh wajahnya dengan air dingin dan menepuk-nepuknya pelan dengan handuk. Setelah selesai, ia kembali menemui Archana yang masih berdiri mematung di balik pintu.
"Silakan duduk, Nona," sambut Aman dengan senyumnya yang terlihat ragu dan canggung.
"Kukira, kita sudah pernah bertemu dan sedikit kenal, jadi tolong jangan terlalu formal," balas Archana sambil menempati kursi di seberang kursi Aman yang dibatasi meja kerjanya.
Aman terkejut. Ia pikir, Archana tidak mengenalinya karena Archana sama sekali tidak bergeming, selain menangis dan memeluk adiknya ketika melihat dan mendengarkannya menyampaikan berita menyedihkan. "Baiklah, eh-hm, Archana. Aku-"
"Boleh aku bicara?" sela Archana. Tatapannya serius tapi terkesan lembut berkat sinar di matanya yang seakan tidak pernah redup. Aman mengangguk pelan dan mempersilakan Archana bicara.
"Terima kasih. Pertama, aku ingin menanyakan soal ibuku. Apa yang terjadi?"
Aman tercekat. Ia lantas menjelaskan satu per satu hal yang terjadi pada Parvati, serangan jantung, sesak napas, dan sedikit terlambat dibawa ke rumah sakit. Archana mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Aman dengan saksama. Matanya terkunci pada mata Aman yang terus bergerak, tidak fokus, terlihat berusaha menghindari tatapan mata Archana. Archana merasa Aman tidak punya nyali yang besar untuk membalas tatapannya. Rasa bersalah yang terus menyeruak dalam diri Aman dapat terlihat jelas oleh Archana. Ketika Aman berhenti menjelaskan pun, hanya sesekali ia melirik Archana, sekadar memastikan Archana baik-baik saja. Namun, wanita di hadapannya itu tidak berkutik. Ia hanya mengatupkan bibirnya rapat, menghela napas yang terasa menyesakkan dadanya dan menganggukkan kepalanya pelan. Ruangan itu kembali diselimuti keheningan.
"Aman," Archana meraih tangan Aman yang dingin dan menggenggamnya erat. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aman yang terlihat sedikit pucat.
"Terima kasih sudah berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan ibuku. Upacara kremasinya akan dilaksanakan sore nanti pukul 6. Aku harap kau datang. Ibuku harus tahu siapa yang telah mengerahkan tenaga bahkan berusaha melawan ketakutan untuk menyelamatkan hidupnya." Archana mengusap jemari Aman dengan lembut dan tersenyum. Ia memberikan secarik kertas sebelum ia pergi meninggalkan Aman sendirian di ruangan yang dinginnya terasa menusuk kulit. Aman memandangi kertas yang berada dalam genggamannya. Ia melihat nama Archana dan alamat rumahnya yang tercetak dengan tinta hitam.
"Kau...Bagaimana aku bisa datang? Apa hatimu selembut ini atau kau ingin membuatku semakin terpuruk dalam rasa bersalahku, Archana?" batin Aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfic[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...