Archana membuka pintu kamarnya, melangkah masuk, dan menutup pintunya lagi. Kamarnya yang bernuansa putih bersih itu cukup luas untuk satu orang penghuni. Di rumahnya yang besar ini, ada banyak kamar. Awalnya, ia menempati kamar besar itu dengan Priya. Namun, ketika usia Priya sudah remaja dan sudah berani untuk tidur sendiri, ia pindah ke kamar barunya yang sama besarnya dengan kamar Archana.
Ia berjalan gontai, menghela napas berat sambil melayangkan tubuhnya ke atas ranjangnya yang besar. Ia membentangkan kaki dan tangannya layaknya seekor bintang laut, membiarkan otot-ototnya melepas kepenatan setelah berkegiatan seharian ini. Matanya terpejam. Perlahan, napasnya mulai tenang.
Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering.
'Bajingan'
Setidaknya, begitulah tulisan yang terpampang di layar ponselnya. Ia menghela napas berat. Ia menggeser tanda berwarna hijau di layarnya dan menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
"Ya?" jawabnya dingin.
"Kami baik-baik saja, seperti biasa."
"Ibu sudah tidur."
"Untuk apa kau peduli?"
"Aku bisa menjaga ibu dan Priya. Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku tutup teleponnya."
"Ibu memang selalu mengajarkan hal-hal baik."
"Akan kusampaikan."
Setelah selesai bicara dengan bajingan itu, Archana meletakkan ponselnya di atas nakas dengan kasar. Semua memang mulai membaik dan baik-baik saja. Namun, masih sulit baginya untuk melupakan luka yang telah digoreskan di dalam hatinya. Tidak. Luka itu tidak hanya berada di dalam hatinya, tetapi juga di dalam hati Priya, dan tentunya di dalam hati ibunya sejak bertahun-tahun lalu. Kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatannya; Bagaimana keluarganya menjadi pecah. Bagaimana ibunya terus-menerus merasa bersalah atas kesalahan yang tidak dibuatnya. Bagaimana Archana juga menyalahkan dirinya sendiri karena sesuatu yang sungguh, ia menyesalinya, bahkan ia sempat marah pada dirinya sendiri. Bagaimana Priya kehilangan senyum dan binar matanya yang indah.
Archana mendengus pelan. Ia menatap langit-langit kamarnya, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Ia melirik jam dinding dan bergumam pelan menyebutkan pukul sepuluh lewat sepuluh lewat lima belas menit. Hari itu cukup melelahkan baginya. Namun, tidak tahu apa yang membuatnya sulit memejamkan matanya. Ia mencoba mengirim pesan pada Priya, memastikan apakah adiknya itu sudah tidur atau belum.
"Priya, sudah tidur belum?"
Setelah mendengar dentingan ponselnya, Priya yang sedang menyusuri internet dengan laptop silvernya, bergegas memeriksanya dan segera membalas pesan yang ternyata dari kakaknya.
"Belum, kak. Kenapa?"
Tidak lama setelah itu, balasan pesan dari Archana muncul, "Aku ke kamarmu ya?" Kemudian Priya membalasnya dengan dua emoji ibu jari yang mengacung.
Tok tok!
"Priya, ini aku," kata Archana di depan pintu kamar Priya.
"Masuk saja, kak. Tidak dikunci," sahut Priya dari dalam kamarnya. Mendengar jawaban Priya, Archana membuka pintu dan menyumbulkan kepalanya dari balik pintu. Ia melihat Priya sedang menghadap laptopnya di meja kerjanya. Kamar Priya bernuansa biru muda. Rasanya sejuk dan nyaman berada di sana. Archana masuk dan menutup pintunya. Lalu melompat ke atas ranjang Priya seraya menghela napas panjang.
"Kakak, kasurku baru saja kurapikan," ujar Priya tanpa menoleh. Ia tidak marah. Seumur hidupnya, ia tidak pernah marah pada kakaknya. Ia juga tahu betul, itu adalah salah satu kebiasaan Archana. Tidak hanya di kamar Archana sendiri, di kamar Priya bahkan di kamar ibunya pun dia pasti akan berlaku seperti itu.
"Nanti kau tidur di sini 'kan?" tanya Archana.
"Memang kau pikir aku tidur di mana?" balas Priya.
"Kalau begitu, nanti juga akan berantakan lagi."
"Hmm, terserah kau saja."
Archana mengambil majalah fashion di atas nakas dan membukanya secara acak. Sesekali ia melirik Priya, "Kau sedang apa?"
"Mencari jodoh," jawab Priya singkat sambil menahan senyumnya. Namun, jawabannya membuat Archana tersentak.
"Apa? Jangan bertindak bodoh."
"Apanya yang bodoh? Aku mendahuluimu itu merupakan sesuatu yang bodoh?" ejek Priya.
"Kau ini sehari saja tidak menyebalkan bisa atau tidak?" jawab Archana dengan nada garangnya.
"Tidak. Aku terlahir untuk mengusikmu. Selalu," sahut Priya sambil mematikan laptop dan meninggalkan meja kerjanya. Ia berbalik dan menyusul Archana di atas ranjangnya. Tangannya melingkar di atas perut Archana dan wajahnya menggusel di bahu kakaknya.
Archana menggerak-gerakkan bahunya. "Apa-apaan-"
Sebelum Archana menyelesaikan kalimatnya, Priya memotong, "Kalau kau ingin protes, protes saja ke Tuhan, Kak." Archana memukul pelan lengan adiknya.
"Priya, apa aku boleh bermalam di sini?" tanya Archana.
"Boleh saja, tapi kenapa? Setelah berusia lebih dari tiga dekade, kau takut tidur sendiri?" ujar Priya, lagi-lagi mengejek kakaknya dan terkikik.
"Bukan begitu, bodoh."
"Lalu?"
"Kau tahu? Si bajingan itu tadi menghubungiku."
"Ayah?"
"Ya, pokoknya si bajingan itu."
"Ada apa?"
"Menanyakan kita, menanyakan Ibu. Tapi sudah tidak ada gunanya, kau tahu itu 'kan?" Priya hanya berdeham dan mengangguk pelan.
"Lalu?"
"Tentu saja kuberi tahu dia kalau sudah tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku akan tutup teleponnya. Kau tahu, dia bilang apa? 'Sepertinya kau tidak suka membuang waktumu dengan bicara padaku. Ibumu memang mengajarkan hal yang baik.' Entah itu sarkasme atau apa, aku tidak peduli," beber Archana, menirukan gaya bicara si bajingan itu, yang ternyata ayahnya sendiri.
Priya terkekeh. "Kau jawab apa?"
"Aku mengakui bahwa Ibu mengajarkan kita hal yang baik. Kemudian, dia menitip salam untuk Ibu. Cih," Archana menggerakkan bahunya naik dan turun. Priya mendengus kecil dan menggelengkan kepalanya.
"Karenanya, aku tidak bisa tidur," ujar Archana.
"Kakak merindukan Ayah?" tanya Priya yang langsung disambut tatapan tajam Archana.
"Sembarangan," jawab Archana. "Memang kau merindukannya?" lanjutnya.
Priya melepaskan pelukannya dari Archana, "Hmm, sedikit."
Archana menatapnya. "Mengapa hatimu begitu lembut, Priya?" batinnya. Namun, yang keluar dari bibirnya adalah, "Kalau begitu, pergilah menemuinya." Priya tersentak, lalu menggeleng kuat.
"Tidak, terima kasih. Sudahlah, Kak. Jangan dipikirkan. Ayo tidur," ujar Priya sembari menarik selimutnya dan mulai memejamkan mataya.
Sementara Archana masih duduk bersandar di sampingnya. "Aku tidak ingin menikah," kata Archana. Mendengar itu, Priya lantas membuka matanya lagi. Bola matanya yang berwarna cokelat sedikit terang terlihat melebar. Bukan, bukan karena lampu kamarnya sudah diatur lebih remang, tetapi ia terkejut dengan perkataan kakaknya. Namun, ia tetap diam meskipun benaknya bertanya-tanya.
"Maksudku, kurasa... Kurasa begitu. Kurasa, aku tidak ingin menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfiction[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...