Pukul empat sore, kediaman Archana mulai dipenuhi orang-orang berpakaian putih yang memberikan penghormatan terakhir pada Parvati. Banyak dari mereka yang merupakan kolega dan pegawai di perusahaannya. Sanak saudaranya juga hadir. Archana dalam kurti dan dupatta putih yang menutupi kepalanya berdiri di ambang pintu menyambut para tamu yang datang, sementara Priya tidak pernah terlihat beranjak dari sisi ibunya dibaringkan.
Sebuah postur tubuh yang dikenal Archana menghampirinya. Itu Arvind, ayahnya. Archana tidak tahu harus berbuat apa ketika Arvind berhenti di hadapannya dan menyentuh kepalanya sebagai pemberian berkat sebelum ia memeluk putri sulungnya.
"Kau pasti kuat, Nak," bisik Arvind seraya mengusap-usap punggung Archana.
Bertahun-tahun Archana tidak mendapatkan pelukan dari ayahnya. Matanya terasa panas karena menahan tangis, tapi air matanya terus meluap hingga akhirnya membasahi wajahnya yang terbenam di dada ayahnya. Tangannya perlahan melingkar erat di pinggang Arvind. Matanya terpejam kuat seiring tangisnya yang terisak. Arvind terus mengusap-usap punggung dan kepala Archana, sesekali meninggalkan kecupan di rambut putrinya itu, dengan harapan bisa membuatnya lebih tenang. Dari lubuk hatinya yang terdalam, Arvind merindukan kedua putrinya. Ia sedikit tidak menyangka Archana akan menyambut pelukannya dan menunjukkan dirinya begitu rapuh karena kematian Parvati. Jelas saja, hanya Parvati yang ia punya sejak Arvind pergi.
Setelah merasa cukup lega, Archana melepaskan pelukannya dan mengambil jarak dari ayahnya. Ia menyeka air matanya hingga tidak ada lagi yang mengalir. Lalu, ia menatap Arvind dan tersenyum.
"Kau datang sendiri?" tanyanya sambil menjulurkan lehernya untuk melihat orang-orang yang keluar dan masuk ke rumahnya. Arvind mengangguk sebagai jawaban.
"Oh. Priya ada di dalam, tepat di samping Ibu. Masuklah."
"Hmm, baiklah. Kau di sini sendiri? Tidak apa-apa?" Archana mengangguk.
Arvind melangkah melewati ambang pintu. Setelah beberapa langkah, seruan Archana menghentikannya. "Terima kasih sudah datang,– Ayah," ujarnya dengan senyumnya yang tidak lepas dari bibirnya. Arvind menghela napas pelan dan membalas senyuman Archana. Ia mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya menemui Priya.
Archana kembali menyambut tamu yang datang. Sesekali ia melihat jam tangannya. Pukul lima sore lebih lima belas menit. Sedetik kemudian, ponsel di kantongnya bergetar. Ada pesan baru. Archana segera memeriksa ponselnya. Pesan dari Radha.
"Archana, aku turut berduka untukmu dan keluargamu atas kepergian Bibi Parvati. Aku juga minta maaf karena tidak dapat ke rumahmu dan menghadiri upacara kremasinya. Peluk untukmu dan Priya."
Setelah membaca pesan itu, Archana terlihat menarikan kedua ibu jarinya di layar ponselnya, mengirimkan balasan untuk Radha. Lalu, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya, sekadar melihat suasana di ruang tengah dan memandangi ibunya dari jarak beberapa meter. Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya dan memanggil namanya dengan lembut. Suaranya familiar. Archana tahu siapa orang itu.
"Aman," ujarnya seraya berbalik dan menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Aman. Entah mengapa, parfum maskulin Aman membuat Archana merasa terlindungi. Aman membalas pelukannya dengan canggung. Ia merasakan bajunya sedikit basah. Archana menangis lagi, meskipun tidak seperti tadi. Namun kali ini, di pelukan orang yang baru saja ia kenal. Tangan kanan Aman bergerak naik ke kepala Archana dan mengelusnya lembut. Satu momen sederhana yang sangat ia tunggu sejak kemarin. Entah mengapa ia merasa seperti itu. Beberapa saat kemudian, Archana tersadar. Ia segera menghentikan tangisannya dan menarik dirinya sedikit menjauh dari Aman.
"Maaf," ujar Archana sambil mengusap wajahnya.
Aman memfokuskan pandangannya pada Archana seraya tersenyum getir. Kedua tangannya menangkup pipi Archana dan mengembangkan senyumnya, berharap lengkungan bibirnya terlihat lebih baik. Ia terus memandangi Archana dan menatap matanya.
"Sudah lebih baik?" tanya Aman.
Archana mengangguk, merapatkan bibirnya dan membalas senyuman Aman. Tangannya menyentuh tangan Aman yang masih menempel di kedua pipinya, menariknya turun dari wajahnya dan menggenggam salah satunya sambil melangkah mendekati ibunya yang terbujur kaku di ruang tengah. Mereka menunggu orang-orang menjauh dari sisi Parvati sehingga mereka bisa lebih mendekat. Aman melihat Priya memeluk Arvind, beberapa langkah di samping Parvati.
"Ini ayahku dan adikku, Priya," kata Archana memperkenalkan keluarganya pada Aman. "Ayah, Priya, ini Aman, temanku. Dia dokter yang kemarin berusaha menyelamatkan Ibu," lanjutnya.
Aman memegang bahu Priya. Gadis itu hanya memberikan senyumnya. Aman membungkuk dan menyentuh kaki Arvind sebelum mengatupkan tangannya di depan dada. Arvind menyentuh bahu Aman dan memintanya kembali berdiri.
"Terima kasih sudah berusaha menyelamatkan Parvati," ujar Arvind yang ternyata cukup membuat Aman semakin tertekan.
Aman sedikit menunduk, "Saya turut berduka cita. Saya juga minta maaf karena tidak bisa membuatnya kembali pada kalian. Saya sangat menyesal." Matanya sesekali melirik Arvind, Priya, dan Archana secara bergantian. Arvind memeluk Aman dan menepuk-nepuk punggungnya pelan sembari memberi tahu Aman bahwa tidak ada yang perlu disesali. Archana dan Priya hanya memperhatikan mereka.
Sesaat kemudian, Aman melepaskan pelukannya dan meminta izin untuk memberikan hormat kepada Parvati. Arvind mengangguk dan kembali merangkul Priya. Archana memegangi lengan Aman dan menuntunnya mendekati Parvati.
"Ibu. Ini Aman. Ibu tahu 'kan? Dia yang kemarin berusaha menyelamatkanmu. Ibu mungkin dapat merasakan bagaimana takutnya Aman ketika melaksanakan prosedur-prosedur itu pada tubuh Ibu," ujar Archana sedikit terkikik dan menoleh sejenak ke Aman yang tersenyum tipis setelah mendengar kata-katanya. "Sekarang dia juga ada di sini, untuk bertemu denganmu lagi," sambungnya.
Aman mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan memberi hormat pada Parvati. Ia melangkah mengitari Parvati satu kali sebelum berhenti di sisi Archana. "Maaf, saya tidak berhasil menyelamatkan Anda, Nyonya. Maaf karena saya tidak bisa membawa Anda pulang kepada kedua putri Anda. Maaf karena saya membawa Anda pergi jauh dari keluarga Anda. Beristirahatlah dengan tenang," ucap Aman. Suaranya bergetar, sedikit tertahan di tenggorokannya yang membuatnya merasa seperti dicekik. Air matanya menggenang karena lagi-lagi ia mengingat masa lalunya. Sakit sekali. Rasa bersalah kembali menyelimuti hatinya. Satu bulir air matanya menitik di pipi dan Aman cepat-cepat menghapusnya. Namun, sayangnya, Archana mengetahui itu. Ia kembali merangkul lengan Aman dan mengusapnya lembut.
"Sudah?" tanya Archana sedikit tersenyum. Aman mengangguk. Mereka berbalik dan melangkah menjauh dari Parvati.
Dalam keheningan dirinya, Aman bertanya-tanya. "Bagaimana kau bisa setegar ini, Archana? Ditinggalkan oleh ibumu dan mengundangku, orang yang telah membunuhnya, untuk datang ke sini, tersenyum dan menenangkanku lagi dengan sentuhanmu. Kau ini manusia atau bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE FATE (✔)
Fanfic[Versi bahasa Indonesia] "Takdirku terhubung denganmu." -Tum Hi Ho Seorang wanita dengan 'hadiah spesial' tidak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki yang memiliki sepasang mata yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejak saat itu, ada sesuatu y...